Pengikut

Sabtu, 11 Agustus 2012

Inilah Sejarah Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’

Riwayat Perjuangan Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’
Oleh: Drs. KH. Achmad Masduqi
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ Lahir
Setelah kaum Wahabi melalui
pemberontakan yang mereka lakukan pada
tahun 1925 berhasil menguasai seluruh
daerah Hejaz, maka mereka mengubah
nama negeri Hejaz dengan nama Saudi
Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari
raja mereka yang pertama, Ibnu Sa’ud,
mereka mengadakan perombakan-
perombakan secara radikal terhadap tata
cara kehidupan masyarakat. Tata
kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan
dengan tata cara yang dianut oleh
golongan Wahabi, yang antara lain adalah
ingin melenyapkan semua batu nisan
kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan
bangsa Indonesia yang banyak bermukim
di negeri Hejaz, yang menganut paham
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,dengan
memilih salah satu dari empat madzhab.
Mereka sangat terkekang dan tidak
mempunyai kebebasan lagi dalam
menjalankan ibadah sesuai dengan paham
yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh
bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan
yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia
tidak dianggap sebagai persoalan nasional
bangsa Arab saja, melainkan dianggap
sebagai persoalan internasional, karena
menyangkut kepentingan ummat Islam di
seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh
ulama di Jawa Timur menganggap penting
untuk membahas persoalan tersebut.
Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab
Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh
KH. Hasyim Asy’ari, diadakanlah
pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten
Surabaya. Pada pertemuan tersebut
dilahirkan satu organisasi yang diberi
nama Comite Hejaz, yang anggotanya
terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh
muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan
mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk
menghadap raja Ibnu Sa’ud. Akan tetapi
oleh karena satu dan lain hal pengiriman
utusan ditangguhkan, dan sebagai
gantinya hanya mengirimkan telegram
kepada raja Ibnu Sa’ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16
Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung
Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang
disponsori oleh Comite Hejaz sebagai
realisasi dari gagasan yang timbul pada
pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan
ini, lahirlah organisasi baru yang diberi
nama “JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA”
dengan susunan pengurus HB (Hoof
Bestuur) sebagai berikut:
Ra’is Akbar : Hadlratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari
Wakil Ra’is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab
Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
Kehadiran Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
dimaksudkan sebagai suatu organisasi
yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah dari segala macam
intervensi (serangan) golongan-golongan
Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di
Indonesia pada khususnya dan di seluruh
dunia pada umumnya; dan bukan hanya
sekedar untuk menghadapi golongan
Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz.
Disamping itu juga dimaksudkan sebaga
organisasi yang mampu memberikan
reaksi terhadap tekanan-tekanan yang
diberikan oleh Pemerintah Penjajah
Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
1926-1929
Setelah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ lahir
pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka
Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan
semua tugas Comite Hejaz yang belum
dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya
kepada Jam’iyyah NU. Alhamdulillah,
meskipun Jam’iyyah NU baru saja lahir,
ternyata telah mampu melaksanakan
tugas-tugas yang berat; baik tugas yang
dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun
tugas yang diharapkan oleh ummat Islam
kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara
lain:
Pada bulan Februari 1926 M. setelah
berhasil menyelenggarakan kongres Al
Islam di Bandung yang dihadiri oleh
tokoh-tokoh organisasi Islam selain NU,
seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-
lainnya. Diantara keputusan kongres
tersebut adalah mengirimkan dua orang
utusan, yaitu: H.Umar Said Tjokroaminoto
dari PSII dan KH. Mas Mansur dari
Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam
yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud
(raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping
itu, Jam’iyyah NU juga mengirimkan
utusan yang khusus membawa amanat NU,
yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH.
Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah
kedua utusan ini berhasil dengan baik.
Kedua beliau ini pulang dengan membawa
surat dari raja Sa’ud ke Indonesia
tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni
1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara
lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa’ud
menjanjikan akan membuat satu ketetapan
yang menjamin setiap ummat Islam untuk
menjalankan Agama Islam menurut paham
yang dianutnya.
Sesuai dengan yang diharapkan oleh
bangsa Indonesia, maka sejak lahir,
Jam’iyyah NU telah berani memberikan
reaksi secara aktif terhadap rencana
pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
1. Ordonansi Perkawinan atau Undang-
Undang Perkawinan, yang isinya
mengkombinasikan hukum-hukum
Islam dengan hukum-hukum yang
dibawa Belanda dari Eropa.
2. Pelimpahan pembagian waris ke
Pengadilan Negeri (Nationale Raad)
dengan menggunakan ketentuan
hukum di luar Islam.
3. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak
yang dikenakan kepada warga negara
Indonesia yang bermukim di luar
negeri.
4. Dan lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak pernah
menyatakan sebagai Partai Politik, namun
yang ditangani adalah soal-soal politik.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929 Jam’iyyah
NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten)
dan Anggaran Rumah Tangga
(Huishoudelijk Reglemen) yang telah
disusun kepada Pemerintah Hindia
Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930
mendapat pengesahan dari Pemerintah
Hindia Belanda sebagai organisasi resmi
dengan nama: “PERKUMPULAN
NAHDLATUL ULAMA” untuk jangka waktu
29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31
Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul
Ulama’ juga berusaha membuat lambang
NU dengan jalan meminta kepada para Kyai
untuk melakukan istikharah. Dan ternyata
Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan
Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau
melihat gambar lambang itu secara
lengkap seperti lambang yang sekarang;
tanpa mengetahui makna simbol-simbol
yang terdapat dalam lambang tersebut
satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul
Ulama’ mendapat sambutan dari seluruh
masyarakat Indonesia yang sebagian besar
berhaluan salah satu dari madzhab empat.
Sehingga dalam waktu yang relatif singkat,
4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35
cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yang antara lain:
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ dipimpin
oleh para ulama’ yang menjadi guru dari
para kyai yang tersebar di seluruh
Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh
KH. Hasyim Asy’ari.
Kesadaran ummat Islam Indonesia akan
keperluan organisasi Islam sebagai tempat
menyalurkan aspirasi dan sebagai
kekuatan sosial yang tangguh dalam
menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai organisasi sosial yang harus
menangani semua kepentingan
masyarakat, Nahdlatul Ulama’ memandang
sangat perlu untuk membentuk kader-
kader yang terdiri dari generasi muda yang
sanggup melaksanakan keputusan-
keputusan yang telah diambil oleh NU.
Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938,
atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim
selaku konsul Jawa Timur,
diselenggarakan konferensi Daerah Jawa
Timur yang menelorkan keputusan untuk
menyelenggarakan pendidikan formal,
yaitu mendirikan madrasah-madrasah,
disamping sistem pendidikan pondok
pesantren. Madrasah-madrasah yang
didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
* Madrasah Umum, yang terdiri dari:
o Madrasah Awwaliyah, dengan masa
belajar 2 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan
masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan
masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu’allimin Wustha,
dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, dengan
masa belajar 3 tahun.
* Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah),
yang terdiri dari:
o Madrasah Qudlat (Hukum).
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira’ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara’ (untuk orang-
orang fakir).
o Madrasah Khusus.
Kelahiran Al Majlis Al Islamiy Al A’la (MIAI)
Pada masa penjajahan Belanda, ummat
Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-
tekanan dari pemerintah penjajah Belanda,
disamping penghinaan-penghinaan yang
dilakukan oleh golongan di luar Islam
kepada agama Islam, Al Qur’an dan Nabi
Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi
hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama’
memandang perlu untuk mempersatukan
seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama’ telah
memelopori persatuan ummat Islam di
seluruh Indonesia dengan membidani
kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A’la
Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan
sebagai berikut:
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim,
dari NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno,
dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari
Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al
Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII
Adapun tujuan perjuangan yang akan
dicapai oleh MIAI antara lain sebagai
berikut:
Menggabungkan segala perhimpunan
ummat Islam Indonesia untuk bekerja
bersama-sama.
Berusaha mengadakan perdamaian
apabila timbul pertikaian di antara
golongan ummat Islam Indonesia, baik
yang telah tergabung dalam MIAI maupun
belum.
Merapatkan hubungan antara ummat
Islam Indonesia dengan ummat Islam di
luar negeri.
Berdaya upaya untuk keselamatan
agama Islam dan ummatnya.
Membangun Konggres Muslimin
Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1
Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952 ; Kelahiran Majlis Syura
Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih
diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah
Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan
untuk terbit selama isinya mengenai hal-
hal berikut:
1. Menyadarkan rakyat atas keimanan
yang sebenar-benarnya dan
berusaha dengan sekuat tenaga bagi
kemakmuran bersama.
2. Penerangan-penerangan dan tafsir Al
Qur’an.
3. Khutbah-khutbah dan pidato-pidato
keagamaan yang penting dari para
ulama’ atau kyai yang terkenal.
4. Memberi keterangan kepada rakyat,
bagaimana daya upaya Dai Nippon
yang sesungguhnya untuk
membangunkan Asia Timur Raya.
5. Memperkenalkan kebudayaan Dai
Nippon dengan jalan berangsur-
angsur.
Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki
selaku Gunseikan pada tanggal 7
Desember 1942 berpidato di hadapan para
ulama’ dari seluruh Indonesia yang
dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang
isinya antara lain: Akan memberikan
kedudukan yang baik kepada pemuda-
pemuda yang telah dididik secara agama,
tanpa membeda-bedakan dengan
golongan lain asal saja memiliki kecakapan
yang cukup dengan jabatan yang akan
dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul
Ulama’ tampil ke depan untuk memelopori
kalahiran dari Majlis Syura Muslimin
Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi
yang dianggap mampu membereskan
segala macam persoalan kemasyarakatan;
baik yang bersifat sosial maupun yang
bersifat politik, agar keinginan untuk
menuju Indonesia Merdeka, bebas dari
segala macam penjajahan segera dapat
dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir,
maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang memang
mempunyai taktik yang lain dengan
Penjajah Belanda terhadap para ulama’ di
Indonesia. Dari informasi yang diberikan
oleh para senior yang dikirim oleh
pemerintah Jepang ke Indonesia jauh
sebelum masuk ke Indonesia (mereka
menyamar sebagai pedagang kelontong
dan lain sebagainya yang keluar masuk
kampung), penjajah Jepang telah
mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam serta menganut
paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
semuanya ta’at, patuh dan tunduk kepada
komando yang diberikan oleh para ulama’.
Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin
merangkul para ulama’ untuk memukul
bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya,
maka dengan berbagai macam dalih dan
alasan, penjajah Jepang meminta kepada
para ulama’ agar memerintahkan kepada
para pemuda untuk memasuki dinas
militer, seperti Peta, Heiho dan lain
sebagainya.
Sedang Nahdlatul Ulama’ sendiri
mempunyai maksud lain, yaitu bahwa
untuk mencapai kemerdekaan Indonesia
dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak
diperlukan pemuda-pemuda yang terampil
mempergunakan senjata dan berperang.
Untuk itu Nahdlatul Ulama’ berusaha
memasukkan pemuda-pemuda Ansor
dalam dinas Peta dan Hisbullah.
Sedangkan untuk kalangan kaum tua,
Nahdlatul Ulama’ tidak melupakan untuk
membentuk Barisan Sabilillah dengan KH.
Masykur sebagai panglimanya; meskipun
sebenarnya selama penjajahan Jepang NU
telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU
selama penjajahan Jepang adalah
menggunakan wadah MIAI dan kemudian
MASYUMI.
Masyumi menjelma sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, Nahdlatul Ulama’ yang
dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit
kembali dan mengajak kepada seluruh
ummat Islam Indonesia untuk membela
dan mempertahankan tanah air yang baru
saja merdeka dari serangan kaum penjajah
yang ingin merebut kembali dan merampas
kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama’, Hadlratus Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari, mengeluarkana fatwa bahwa
mempertahankan dan membela
kemerdekaan Indonesia adalah wajib
hukumnya.
Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais
Akbar ini mendapat tanggapan yang positif
dari ummat Islam; dan bahkan berhasil
menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya,
sehingga mereka tidak mau ketinggalan
untuk memberikan andil yang tidak kecil
artinya dalam peristiwa 10 November ’45
Pengurus Besar NU hampir sebulan
lamanya mencari jalan keluar untuk
menanggulangi bahaya yang mengancam
dari fihak penjajah yang akan
menyengkeramkan kembali kuku-kuku
penjajahannya di Indonesia.
Kelambanan NU dalam hal tersebut
disebabkan karena pada masa penjajahan
Jepang NU hanya membatasi diri dalam
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat
agamis,sedang hal-hal yang menyangkut
perjuangan kemerdekaan atau berkaitan
dengan urusan pemerintahan selalu
disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah
pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka
Masyumi yang pada masa penjajahan
Jepang merupakan federasi dari
organisasi-organisasi Islam, mengadakan
konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7
November 1945. Pada konggres tersebut
telah disetujui dengan suara bulat untuk
meningkatkan Masyumi dari Badan
Federasi menjadi satu-satunya Partai
Politik Islam di Indonesia dengan
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ sebagai tulang
punggungnya. Adapun susunan Dewan
Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap
adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari
Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai
Masyumi benar-benar di luar keinginan
Nahdlatul Ulama’. Sebab Nahdlatul Ulama’
selalu menyadari betapa pentingnya arti
persatuan ummat Islam untuk mencapai
cita-citanya. Itulah yang mendorong
Nahdlatul Ulama’ yang dimotori oleh
KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan
MIAI, MASYUMI, dan akhirnya
mengorbitkannya menjadi Partai Politik.
Bahkan Nahdlatul Ulama’ adalah modal
pokok bagi existensi Masyumi, telah
dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama’ pada
konggresnya di Purwokerto yang
memerintahkan semua warga NU untuk
beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi.
Bahkan pemuda-pemuda Islam yang
tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama’
juga diperintahkan untuk terjun secara
aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam
Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata,
beberapa oknum dalam Partai Masyumi
berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menendang NU keluar dari Masyumi.
Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura
yang mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak
langkah mereka dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang bersifat politis.
Apalagi segala sesuatu persoalan harus
diketahui / disetujui oleh Majlis Syura,
mereka rasakan sangat menghambat
kecepatan untuk bertindak. Dan mereka
tidak mempunyai kebebasan untuk
menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan politik. Akhirnya ketegangan
hubungan antara ulama’/kyai dengan
golongan intelek yang dianggap sebagai
para petualang yang berkedok agama
semakin parah. Karena keadaan semacam
itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak
dapat menahan diri lagi. Mereka
mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif
kembali pada organisasinya; sampai
kemudian PSII menjadi partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh
pemimpin-pemimpin Masyumi masih
dianggap biasa saja. Bahkan pada
muktamar Partai Masyumi ke-IV di
Yogyakarta yang berlangsung pada
tanggal 15 – 19 Desember 1949, telah
diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura
yang semula menjadi dewan yang tertinggi
diubah menjadi Penasihat yang tidak
mempunyai hak veto; dan nasihatnya
sendiri tidak harus dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah merendahkan
derajat para ulama’ tersebut dapat ditolelir
oleh warga Nahdlatul Ulama’. Namun PBNU
masih berusaha keras untuk
memperhatikan persatuan ummat Islam.
Nahdlatul Ulama’ meminta kepada
pimpinan-pimpinan Masyumi agar
organisasi ini dikembalikan menjadi
Federasi Organisasi-Organisasi Islam,
sehingga tidak menyampuri urusan rumah
tangga dari masing-masing organisasi
yang bergabung di dalamnya. Namun
permintaan ini tidak digubris, sehingga
memaksa Nahdlatul Ulama’ untuk
mengambil keputusan pada muktamar NU
di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei
1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri
sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama’ membentuk Liga
Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama’ keluar dari
Masyumi, Jam’iyyah NU yang sudah
menjadi Partai Politik ternyata masih
gandrung pada persatuan ummat Islam
Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama’
mengadakan kontak dengan PSII dan
PERTI membentuk sebuah badan yang
berbentuk federasi dengan tujuan untuk
membentuk masyarakat Islamiyah yang
sesuai dengan hukum-hukum Allah dan
sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini
mendapat tanggapan yang positif dari PSII
dan PERTI, sehingga pada tanggal 30
Agustus 1952 diakan pertemuan yang
mengambil tempat di gedung Parlemen RI
di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia
yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul
Ulama’, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal
Irsyad.
Dekade 1965
Selama Nahdlatul Ulama’ menjadi Partai
Islam, dalam gerak langkah nya mengalami
pasang naik dan juga ada surutnya. Saat
kabut hitam melingkupi awan putih wilayah
nusantara pada tanggal 30 September
1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama’
muncul dan mampu mengimbangi
kekuatan anti Tuhan yang menamakan
dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia).
Sikap Nahdlatul Ulama’ pada saat itu betul-
betul sempat membuat kejutan pada
organisasi-organisasi selain NU.
Keberhasilan Nahdlatul Ulama’ dalam
menumbangkan PKI dapat diakui oleh
semua fihak. Dan hal ini menambah
kepercayaan Pemerintah terhadap
Nahdlatul Ulama’. Nahdlatul Ulama’
sebagai Partai Politik sudah membuat
kagum dan dikenal serta disegani oleh
setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan
oleh dunia internasional. Apalagi mampu
menumbangkan dan menumpas
pemberontakan Partai Komunis yang
belum pernah dapat ditumpas oleh negara
yang manapun di seluruh dunia. Sehingga
dengan demikian, Nahdlatul Ulama’
dihadapkan kepada permasalahan-
permasalahan yang sangat komplek
dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun
Nahdlatul Ulama’ sendiri dalam hal rencana
perjuangannya yang terperinci, mengalami
pembauran kepentingan partai dengan
kepentingan pribadi dari para
pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar
tahun 1967, Nahdlatul Ulama’ yang sudah
berada di puncak mulai menurun. Hal ini
disebabkan antara lain oleh pergeseran
tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru,
ketiadaan generasi penerus dan lain
sebagainya.
Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat
Nahdlatul Ulama’ menghadapi Pemilihan
Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama’ harus
mempunyai anggauta secara realita,
terdaftar dan bertanda anggauta secara
pasti. Demi pengumpulan suara, maka
apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul
Ulama’, kini dijadikan nomor dua. Partai
Nahdlatul Ulama’ membutuhkan anggauta
sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka
bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah
yang membuat kabur antara tujuan, alat
dan sarana. Sebagai Partai Politik yang
militan, Nahdaltul Ulama’ harus berusaha
agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan
Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula
halnya jabatan-jabatan sebagai menteri.
Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk
dapat melaksanakan program dalam
mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena
pengaruh lingkungan dan juga karena
pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan
yang semula dimaksudkan sebagai alat
yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian
berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat
berpengaruh bagi kemajuan dan
kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul
Ulama’ mencapai puncak keberhasilan.
Akan tetapi sayang sekali, justeru pada
saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah
menjadi kabur. Pondok Pesantren yang
semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul
Ulama’ sudah mulai terkena erosi, sebagai
akibat perhatian Nahdlatul Ulama’ yang
terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah
politik.
Penyederhanaan Partai-Partai
Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama’
keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal
tersebut membawa anggapan baru bagi
masyarakat umum bahwa sebenarnya
kepengurusan Nahdlatul Ulama’ adalah
sebagai hal yang luar biasa; sementara di
pihak lain terdapat dua partai yang tidak
mendapatkan kursi sama sekali, yaitu
Partai MURBA dan IPKI, yang berarti
aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok
lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk
menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan partai-partai
politik tersebut, datangnya memang bukan
dari Nahdlatul Ulama’. Akan tetapi
Nahdlatul Ulama’ menyambut dengan
gembira. Dan dalam penyederhanaan
tersebut Nahdlatul Ulama’ tidak
membentuk federasi, akan tetapi
melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan
pun terjadi, karena memang masing-
masing pihak yang berfusi mempunyai
tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan oleh
golongan elit telah menyeret para
pemimpin dan tokoh-tokoh Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’ ke dalam kehidupan elit.
Padahal kehidupan elit semacam ini tidak
terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama’.
Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang
baru yang berkembang biak dan hidup
subur di kalangan Nahdlatul Ulama’. Maka
timbullah pola pemikiran baru yang
mengarah kepada kehidupan individualis,
agar tidak tergeser dari rel yang menuju
kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah
rupa-rupanya yang membuat parah kondisi
yang asli dari Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
sejak mula pertama didirikan sebagai
jam’iyyah.
Nahdlatul Ulama’ Kembali Kepada Khittah
An Nahdliyah
Selama Nahdlatul Ulama’ berfusi dalam
tubuh Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar;
sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama’
sendiri terdapat banyak ketimpangan dan
kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu
yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul
Ulama’ telah menjadi kurang peka dalam
menanggapi dan mengantisipasi
perkembangan keadaan, khususnya yang
menyangkuat kepentingan ummat dan
bangsa. Salah satu sebabnya adalah
ketelibatan Nahdlatul Ulama’ secara
berlebihan dalam kegiatan politik praktis;
yang pada gilirannya telah menjadikan
Nahdlatul Ulama’ tidak lagi berjalan sesuai
dengan maksud kelahirannya, sebagai
jam’iyyah yang ingin berkhidmat secara
nyata kepada agama, bangsa dan negara.
Bahkan hal tersebut telah mengaburkan
hakekat Nahdlatul Ulama’ sebagai gerakan
yang dilakukan oleh para ulama’. Tidak
hanya sekedar itu saja yang sangat
menyulitkan Nahdlatul Ulama’ dalam
kancah politik selama berfusi dalam PPP;
akan tetapi silang pendapat di kalangan NU
sendiri semakin tajam, sehingga sempat
bermunculan berbagai hepothesa tentang
bagaimana dan siapa sebenarnya
Nahdlatul Ulama’.
Dari kejadian demi kejadian dan bertolak
dari keadaan tersebut, maka sangat
dirasakan agar Nahdlatul Ulama’
secepatnya mengembalikan citranya yang
sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama’
tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul
Ulama’ harus melepaskan diri dari kegiatan
politik praktis secara formal, seperti yang
telah diputuskan dalam Musyawarah Alim
Ulama’ Nahdlatul Ulama’ (Munas NU) di
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah
Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun
1982.
sumber :
pesantren.or.id.29.masterwebnet.com



0 komentar:

Posting Komentar