Pengikut

Selasa, 17 Mei 2016

Menemui Nabi Hud di Lembah Hadramaut

"Menemui Nabi Hud Di Lembah Hahdhramaut"
Oleh : Imam Abdullah El-Rashied

Saat itu malam masih pekat, hawa begitu dingin menyapa, mata terbuka saat jam dinding baru mendaratkan jarumnya tepat di angka 2, saat-saat di mana mata ini masih ingin dimanja oleh keempukan pembaringan. Dalam hening tanpa angin, dalam sunyi yang dingin, mobil dan bis mulai menyalakan mesin. Yah, sebuah perjanjian untuk berziarah dini hari ini sudah terjadwal.

Berusaha bangkit mengusap keletihan mata, mencoba mengusapkan air wudhu' di hamparan muka. Kamar mandi yang diam sejak tadinya, kini mulai bernyanyi menyenandungkan percikan air mereka yang sedari lama menanti. Selangkah demi selangkah, seorang demi seorang hingga rampung sudah, kamar mandi menyepi kembali untuk kesekian kalinya. Mereka yang berpakaian serba putih bertekuk lutut di hadapan Tuhannya, nampak begitu tenang, khusyu' dalam peribadahan dengan beberapa do'a yang dipanjatkan dalam penuh kabul yang diharapkan.

Kamipun keluar untuk persiapan, ku lihat wajah langit masih kelam namun ada sedikit taburan cahaya yang menemaninya. Perlahan tapi pasti, Rembulan dan Bintang Gemintang memudar silih berganti, tenggelam beriringan, tanpa membekaskan secercah cayaha namun masih menyisakan banyak kerinduan. Udara yang dingin kian lama menghangat tercampur desah nafas saat kami memasuki bis sedangkan AC belum ternyalakan. Jam digital bis menunjukkan angka 02.30 a.m., ini artinya bis harus segera menggerakkan roda-rodanya yang hampir beku semalaman karena terselimut angin lembah di luar rumah.

Diam-diam aku pejamkan mata agar perjalanan ini tak melelahkan, agar jarak yang cukup jauh bisa terlipatkan. Tiba-tiba saja bis yang kami naiki berhenti, aku kira kenapa. Pantas saja, tuturku dalam hati. Jam digital bis menunjukkan angka 03.30 a.m., itu artinya kami telah tiba di tujuan utama, Kota 'Inat. Yah untuk meniziarahi Syeikh Abu Bakar Bin Salim, seorang Wali besar dari keturunan Sang Nabi, beliau hidup di Abad ke 9 Hijriyah. Dan beliau juga membuat tradisi baru pelaksanaan Ziarah Nabi Hud a.s. di bulan Sya'ban. Meski sebenarnya Ziarah Nabi Hud a.s. sudah ada sejak 4000 tahun silam.

Penuh Khusyu', Yasin secara serentak terlanturkan dari lisan kami dengan sedikit kantuk. Do'a dan Tawassul terus terpanjatkan hingga pimpinan rombongan melantangkan ucapannya dengan kata Al-Fatihah. Sayup-sayup hening suasana pemakaman, pasir putih yang dingin, kubah-kubah tanah yang berjejer, tertiup merdu oleh lantunan Qoshidah seorang Mahasisawa asal Jeddah, Saudi Arabia.

Selepas memberikan Takdzim terakhir kepada Syeikh Abu Bakar Bin Salim, kami melangkahkan kaki menuju Masjid di sebelah pemakaman. Jam di hpku melukiskan angka 04.00 a.m, itu artinya adzan Shubuh sudah waktunya dikumandangkan. Liuk-meliuk penuh semangat, menara-menara Masjid se-kota 'Inat melantunkan Adzannya. Sebagian kami bergegas menuju kamar mandi, ada yang sekedar memperbarui wudhu'nya, ada pula yang menuntaskan hajatnya. Semua anggota rombongan yang nyaris genap 50 orang itu secara serentak meneriakkan Takbir sambil mengangkat kedua tangan di belakang Imam. Sholat Shubuh di tengah hening pagi yang masih gelap. Selepas Sholat, kamipun lanjutkan perjalanan menuju ke Lembah Hud, sedangkan jam yang berkelap-kelip di bagian depan bis memberi isyarat angka 04.30 a.m., yah perjalanan menuju Ziarah dilanjutkan kembali.

Saat itu punuk-punuk perbukitan Lembah Hadhramaut masih tertidur pulas, terpoles embun-embun pagi yang nyaris beku lantaran tak berjumpa mentari. Udara yang sengang, sunyi tak bersuara. Kiri kanan jalan terpagar rapi oleh bukit-bukit terjak yang ringgi menjulang. Sepanjang jalan dari 'Inat ke Lembah Hud, kami hanya ditemani oleh sapaan bukit-bukit batu berpasir yang bisu itu.

Beberapa wirid yang sempat kami tunda setelah Sholat Shubuh, kami lanjutkan lantunannya di dalam Bis. Suasana yang mulai tak asing bagi kami, serentak menyuarakan Wirid dari atas kursi-kursi yang tak cukup empuk, maklum ini adalah bis bukan mobil eksekutif.

Diam-diam mataku terlelap menemani perjalanan ini, ah biarkan saja ungkapku perjalanan masih dua jam lagi dengan kecepatan 100 km/jam. Menjelang pkl. 06.30 a.m., mataku mulai membuka kelopaknya setelah begitu redup aku tenggelam dalam mimpi. Cahaya mentari sudah nampak menguning keemasan menyapa pundak perbukitan Lembah Hud. Tambah dekat, nampak rumah-rumah pemukiman dan pasar dadakan di sekiling jalan. Yah, ini adalah area Makam Nabi Hud a.s., sebuah area yang hanya dihuni di bulan Ziarah, yaitu pertengahan akhir Rajab dan pertengahan awal Sya'ban.

Turun dari bis, memasuki rumah tanah yang berloteng. Menaiki loteng dan menghirup udara segar lembah yang asri. Ramai-ramai orang memadati area pemakaman tanpa ada isyarat, namun sedikit tertib menempati jalurnya masing-masing. Teh susu yang sudah disiapkan sejak sebelum kami tidur semalam, kini mulai dipanaskan kembali di atas kompor gas berlobang satu arah di atas tabung kecil. Hangatnya teh susu telah mencairkan nafas kami yang nyaris membeku karena udara lembah di pagi ini. Setiap orang mengambil sepotong roti panjang, dengan sebutir telor rebus dan sambel abc sashet, kamipun melahap dengan sekasama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Dari atas loteng, perbukitan yang curam, perkebunan yang rindang, serta area pemakaman yang kian tersesakkan, tak kami lupakan untuk diabadikan dalam album kenangan. Suara jeprat-jepret dari satu hp ke hp lainnya, sahut-menyahut beriringan, nampak paduan suara saja. Namun sayang, foto sebagus apapun tak bisa langsung kami Upload ke Sos Med, di sini tak ada jaringan telphone, tidak GSM tidak pula CDMA, karena area ini tak berpenduduk kecuali di musim Ziarah, kamipun maklumi itu.

47 orang yang berangkat ziarah itu terkotak-kotak menjadi 5-6 orang per grup. Hal ini dirasa akan mempermudah pengawasan di tengah desak-sesak keramaian ribuan peziarah. Setiap grup memiliki satu pimpinan, di mana dia bertanggung jawab penuh mengawal grupnya dan harus pulang bersama tepat jam 10.30 a.m. kembali ke rumah tanah ini.

Setiap grup mulai bergerak satu persatu, sesuai aba-aba dari awal setiap grup diperkenan mengikuti Maulid dan Rombongan besar prosesi Ziarah tersebut. Ada rombongan di bawah panji Syeikh Abu Bakar Bin Salim yang dipimpin oleh Habib Umar Bin Hafiz. Ada pula Maulid-Maulid yang dipimpin oleh Ulama' lainnya di area yang sama dan di lokasi yang berbeda. Ada yang memulai tuk berendam dulu di Sungai Al-Hafif, sungai yang sering dijadikan mandi oleh para Ulama' dan Wali bilamana mereka berziarah. Sayapun menjadi salah satu dari yang merendamkan dirinya di tengah sejuknya air Sungai Al-Hafif.

Selepas berendam dan berwudhu', kami naik ke pelataran sungai yang sudah disiapkan Musholla di sampingnya. Orang-orang melaksanakan Sholat Dhuha sambil lalu menunggu rombongan Habib Umar Bin Hafiz. Dalam hening gerakan Sholat, tiba terdengar suara rebana tertabuh dengan semangat, lantunan Qosidah mengudara di Lembah Hud, rombongan Habib Umar datang membawa sekitar 5 panji. Hanyut dalam dzikir dan do'a bersama, rombongan dilanjutkan menuju Makam Nabi Hud a.s..

Sesak penuh keringat, jalan-jalan mulai tertutup rapat oleh peziarah. Maju kena mundur kena, bak suasana di terowongan mina kala haji. Untungnya tak ada satupun orang yang jatuh terinjak-injak. Dalam cucuran keringat, rombongan terhenti di deoan Sumur Taslum. Salam-salam dioanjatkan untuk Baginda Rasulullah SAW, para Rasul dan para Wanita pimpinan wanita Surga.

Rombongan kembali menggemakan nasyid, mengudara memenuhi lembah Hud. Sedikit menukik, menanjak dan sedikit terjal. Rombongan terus naik ke lereng bukit. Sampai di Kubah Makam Nabi Hud a.s., penuh khidmat semua peziarah memberi hormat. Dilanjut do'a, dzikir dan tawassul. Semua khusyu' dalam do'a di bawah terik mentari yang kian menyengat. Sholawat dan Qoshidah terus berkumandang. Hingga Habib Unar turun ke Masjid di samping Makam. Beliau memberikan tausiyah, dilanjutkan oleh Habib Abu Bakar Al-Masyhur, beliau berdua adalah Singa Podium yang kian sering berkunjungke Indonesia belakangan ini, berusaha kembali menyambung hubungan Islam Indonesia yang berakar dari Islam Hadhramaut.

Menjelang dzuhur kurang satu jam, jama'ah Ziarah pun bubar entah kemana. Ada tang masih menginap, ada pula yang langsung pulang. Kamipun kembali ke rumah tanah tadi. Istirahat sejenak, kemudian melaksanakan Sholat Dzuhur dan Ashar yang dijamak, setelah beberapa saat suara Adzan melantun di udara yang sesak. Selesai Sholat, ada ayam goreng menanti di atas talam yang penuh nasi, cukup untuk 5 orang dengan sambal merah yang serasi. Selepas makan, berdiam tenang memegang hp sambil melepas keletihan. Jam 02.45 p.m., bis berputar balik menuju kita Tarim dan mata ini kembali meredup di tengah goncangan ban-ban bis yang tak ramah, namun tetap saja mata ini tak mampu mengangkat kelopaknya hingga jam di bis menunjukkan angka 04.12 p.m., sedangkan bis telah berhenti di depan asrama. Letih dengan sejuta harap dan kenang, semoga Ziarah ini Allah terima sebagai Ibadah yang Ikhlas, Aamiin.[]
Tarim - Yaman, Selasa 10 Sya'ban / 17 Mei 2016.

Minggu, 09 Agustus 2015

Ucapan "Sayidina" Pada acara Muktamar Muhammadiyah




Pada acara Muktamar Muhammadiyah di Makasar terjadi keanehan yang
membuat kita Isykal (penuh tanda tanya). Pasalnya mereka
memperdebatkan MC yang mengucapkan lafadz "SAYYIDINA MUHAMMAD", bahkan
beberapa tokoh saat diwawancarai jawabannya kurang memuaskan,
nampaknya mereka tidak terbiasa mengucapkan penghormatan pada Kanjeng
Nabi.
Saya ingin menjelaskan kebolehan mengucapkan lafadz "Sayyidina" pada
Nabi Muhammad SAW, berikut selengkapnya :
Pertama kita harus tau apa arti kalimat Sayyid, dijelaskan dalam kitab
"Ghoytsus Sahabah" karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah hal. 39,
dijelaskan bahwa:
"Kata Sayyid jika dimaknai secara mutlak, maka yang dimaksud adalah
Allah. Akan tetapi jika dikehendaki makna lain maka bisa bermakna:
1. Orang yang diikuti di kaumnya.
2. Orang yang banyak pengikutnya.
3. Orang yang mulia di antara relasinya."
Sementara pada hal. 37 disebutkan:
"Orang yang memimpin selainnya dengan berbagai kegiatan dan
menunjukkan tinggi pangkatnya".
Sedangkan di dalam Kitab "Ghoyatul Muna" hal. 32, Sayyidi Syeikh
Muhammad Ba'atiyah menyebutkan: "Sayyid ialah orang yang memimpin
kaumnya / banyak pengikutnya."
Dan masih banyak lagi makna lainnya, dari sini kita mulai bisa
mengerti makna beberapa Hadits yang ada lafadz Sayyid, misalnya:
-ﺍﻧﻬﻤﺎ ﺳﻴﺪﺍ ﺷﺒﺎﺏ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ
"Hasan dan Husein adalah pemimpin pemuda Ahli Surga"
-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﻭﻟﺪ ﺍﺩﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻓﺨﺮ
"Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat"
-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
"Aku adalah pemimpin alam"
-ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ; ﻗﻮﻣﻮﺍ ﺍﻟﻰ ﺳﻴﺪﻛﻢ
Pada hadits ini Khottobi berkomentar tidak apa-apa mengatakan Sayyid
untuk memuliakan seseorang, akan tetapi makruh jika dikatakan pada
orang tercela.
Sementara dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dalam catatan
kaki halaman 4 nomer 2, dikatakan bahwa: "Memutlakkan kata Sayyid pada
selain Allah itu boleh".
Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: "Disunnahkan mengucapkan
Sayyid karna Ziyadah Ikhbar Waqi' itu menunjukkan tatakrama dan itu
lebih baik dari meninggalkannya".
Lalu selanjutnya jika mereka para Muktamirin bertendensi dengan dua
hadits yaitu:
1. ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
2. ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ
Maka saya akan menjawab dari kitab "Ghoyatul Muna" karya Sayyidi
Syeikh Muhammad Ba'atiyah dijelaskan pada hal. 32:
"Adapun hadits yang mengatakan "Jangan kau men-sayyid-kan aku dalam
Shalat", Hadits ini adalah Hadits yang tidak sah matan dan sanadnya,
adapun matannya gugur menurut Ahli Hadits, sementara matannya lafadz
ﺗﺴﻴﺪﻧﻲ itu tidak benar secara Nahwu karena yang benar lafadznya ﻻ
ﺗﺴﻮﺩﻭﻧﻲ sedangkan Rasulullah SAW adalah paling fasihnya orang orang
Arab."
Sementara dalam Kitab "Maqosid Hasanah" hal. 463 dikatakan:
"Hadits ini merupakan Hadits Maudlu' (palsu), itu tanggapan Al-Hafidz
As-Sakhowi bahwa hadits ini tidak ada asal usulnya. Dan salah dalam
lafadznya."
Sementara Hadits yang kedua akan saya jawab dari kitab "Zadul Labib"
karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah juz. 1 hal. 9:
"Adapun Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad dari Hadits
Nabi SAW ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ yang dimaksud Siyadah disini adalah Siyadah
secara mutlak, maka fahamilah dan diteliti betul".
Jika anda masih mempertanyakan mengapa dalam Shalawat Ibrahimiyah pada
Tahiyyat ditambah Sayyidina dan pada Tasyahhud tidak ada Sayyidina?
Saya jawab: Mengatakan Sayyidina ini bertujuan memuliakan beliau. Dan
perlu diingat memuliakan dan tatakrama itu lebih baik dari pada
mengikuti perintah seperti Sayyidina Ali yang enggan menghapus kalimat
"Rasulullah" dan berkata: "Aku tak akan menghapusmu selamanya".
Pada saat itu Rasulullah tidak menyalahkan Sayyidina Ali. Begitu juga
Hadits Dlohhak dati Ibnu Abbas, bahwa dulu orang menyebut "Ya
Muhammad", "Ya Abal Qosim", lalu Allah melarang demi memuliakan
beliau.
Sementara jika yang anda permasalahkan dari ayatالله الصمد ; اي بمعنى
سيد maka jawaban saya dari Kitab "Ibanatul Ahkam" juz 1 hal. 346:
"Bahwa kalimat Sayyid itu memiliki dua makna: Yang pertama tiada
satupun yang mengungguli, dialah yang dituju manusia dalam segala
hajat dan keinginan mereka.Sementara makna kedua yaitu yg tidak
memiliki pencernaan yang mana ia tidak makan dan tidak minum".
Sementara dalam Syahadat, Ulama dalam memberikan penghormatan beragam
dan jika tidak ada kata Sayyid-nya pastilah ada kata pujian lain pada
kata sebelum dan sesudahnya, itu terbukti setelah kata Muhammad dalam
Syahadat ada kata pemuluaannya yaitu gelar "Utusan Allah", disanding
dengan lafadz Allah yang sekaligus pencipta alam semesta. Bukankah
Allah tidak akan menyandingkan namanya kecuali dengan kekasihnya?
Dalam Kaidah Fiqih sangat mashur sekali "مراعة الأدب خير من الإتباع".
"Menjaga tatakrama lebih utama dari ittiba' (melaksanakan perintah)".
Sekian dari kami dan kami mohon maaf sebelumnya.

Minggu, 02 Agustus 2015

Presiden Ini dengan Bangga Memakai Tasbih Sebagai Kalungnya

HEGEMONI
Dari kemarin banyak teman teman di SosMed yang meng elu elukan Presiden Turki Erdogan.
Saya disini mau posting Presiden Chechnya saja, biar beda.. heu heu... Beliau juga tak kalah menarik perhatian lho...
Beberapa hari yang lalu dan bahkan beberapa kali, beliau mengunjungi Kerajaan Saudi Arabia.
Yang membuat saya salut adalah, disaat bertemu dengan Putra Mahkota, Muhammad bin Salman, beliau berpakaian kayak bukan Presiden
Disaat berpakaian ihram, beliau tetap dengan PEDE nya tak menanggalkan kalung tasbih kesayangannya yang ada sesuatunya yang mirip "jimat"... Kalau rakyat biasa jangan coba2 tawaf dengan kalungan atau gelangan semisal itu.... kena NAHI mungkar lu !! 
Kemudian disaat beliau di ajak masuk ke Ka'bah, beliau milih berpakaian warna biru, yakni seragam milik pekerja kebersihan Masjidil Haram dan sekalian PEGANG SAPU... heu heu
Duuhh ajibb dah pokoknya
Dalam hal ini Presiden Turki kalah gan  beliau juga beberapa hari yang lalu berkunjung ke Saudi Arabia..... duhh resmi banget
Silahkan lihat gambar2nya berikut:
Peace !!
‪#‎IslamGarisTauhid‬ ‪#‎NoPencitraan #Islam
Laporan dari
Baba Naheel ID

Lihat fotonya di bawah :




Ramzan Akhmadovich Kadyrov, Presiden Republik Chechnya saat ini adalah seorang negarawan sejati yang senantiasa mengikuti Sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam. Usianya baru 38 tahun tetapi pemikirannya sangat brilian. Kurang dari 10 tahun beliau memimpin Chechnya menjadi negara dengan tingkat pembangunan yang membuat takjub dunia. Negara yang sebelumnya hancur porak-poranda karena perang kini disulap menjadi negeri yang indah, bersih dan rapih.

Ayahnya, Akhmad Kadyrov adalah seorang ulama sekaligus Mufti Pejuang Chechnya pada masa perang, yang kemudian dilantik menjadi Presiden Republik Chechnya yang pertama, dua masa jabatan sebelum beliau. Keluarga Kadyrov adalah keluarga yang disegani oleh masyarakat Chechnya dan pemerintah Rusia.

Diantara keistimewaannya Presiden Ramzan adalah lisan beliau tidak pernah berhenti membaca shalawat dan memerintahkan kepada segenap aparatur pemerintah dan warganya untuk melazimkan shalawat. Beliau juga mewajibkan polisi dan tentaranya untuk shalat Shubuh dan Isya berjamaah di masjid. Jika shalat Jum’at tiba, beliau akan shalat di shaf ketiga, tidak mau maju ke depan karena hormat kepada para Habaib dan Ulama yang mengisi shaf pertama dan kedua.

Oleh: Sayyidil Habib Sholeh bin Muhammad Al-Jufri Surakarta dengan beberapa tambahan/ FP Pesan Cinta Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri. Foto: Sayyidil Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri bersama Presiden Ramzan Akhmadovich Kadyrov.

Kamis, 30 Juli 2015

Mengenal ASWAJA (Ahlisunnah wal jamaah) bersama Habib Alwi

Oleh :  Habib Alwi Ba'alawy "karawang"
TENTANG  ASWAJA


{AHLISSUNNAH WAL-JAMA’AH}
( F.RZ.073.72 )
Asal usul ASWAJA
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : "إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي". (رواه الترمذي)
وهو صحيح ومتواتر (فيض القدير, ج 2, ص 21)
Dari Abdullah bin Amr RA, bekata: "Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya umat Bani Isra'il terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yang akan selamat." Para sahabat bertanya: "Siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.“ (HR. Al-Tirmidzi)
قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ t فيِ قَوْلِهِ تَعَالىَ: يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ (سورة: آل عمران:106), فَأَمَّا الَّذِيْنَ ابْيَضَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأُولُو الْعِلْمِ, وَأَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأُولُو الْعِلْمِ, وَأَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ الْبِدْعَةِ وَالضَّلَالَةِ.(شرح اصول الاعتقاد اهل السنة والجماعة, ج2 ص92)
Ibn Abbas t berkata ketika menafsirkan firman Allah: “Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.” (QS. Ali Imran: 106). “adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri adalah pengikut ahlussunnah wal-jama’ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam muram, adalah pengikut bid’ah dan kesesatan.” (Syarh Ushul I’tiqd Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Juz 2, hal.92)
Makna Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Ahlun bermakna:
1.Keluarga (اَهْلُ الْبَيْت, keluarga dalam rumah tangga)
2.Pengikut (اَهْلُ  السُّنَّة, pengikut sunnah)
3.Penduduk (اَهْلُ الْجَنَّةِ, penduduk surga)
Makna: al-Sunnah
السُّنَّةُ لُغَةً الطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ، وَشَرْعًا اِسْمٌ لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوكَةِ فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوُلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلم أَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ عَلَمٌ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، لِقَوله صَلَّى اللهُ عّلَيْهِ وَسَلَّم: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ َبَعْدِي، وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَيْهِ مُقْتَدًى نَبِيًا كَانَ أَوْ وَلِيًّا، وَالسُّنِّيُّ مَنْسُوْبٌ إِلَى السُّنَّةِ اهـ (حَضَرَةُ الشَّيْخِ مُحَمَّد هَاشِمْ أَشْعَرِي، رسالة أهل السنة والجماعة ص/5).
Makna al-Sunnah
a.Menurut bahasa: Jejak dan langkah
b.Secara syar’i: Jejak yang diridhai Allah SWT dan menjadi pijakan dalam agama, yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau orang yang menjadi panutan dalam agama seperti sahabat
c.Secara ‘urfi (tradisi): Ajaran yang dilalui oleh seorang panutan dalam agama, seperti nabi atau wali.
(Risalah Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah hal.5)
Makna: al-Jama’ah Menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani
وَالْـجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ فىِ خِلَافَةِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ الْـخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ
(الغنية لطالبي طريق الحق, 80/1)
Al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi r pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT (Mudah-mudahan Allah memberi Rahmat kepada mereka semua). (al-Gunyah li Thalibi Thariq al-haqq, juz 1 hal. 80)
Makna: al-Jama’ah
Makna al-Jama’ah: menjaga kekompakan, kebersamaan dan kolektifitas, kebalikan dari kata al-furqah (golongan yang berpecah belah).
Dikatakan al-jama’ah, karena golongan ini selalu memelihara kekompakan, kebersamaan dan kolektifitas terhadap sesama. Meskipun terjadi perbedaan pandangan di kalangan sesama mereka, perbedaan tersebut tidak sampai mengkafirkan, membid’ahkan dan memfasikkan orang yang berbeda diantara sesama ahlussunnah wal jamaah.
Mengikuti Ijma’ Ulama
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلىَ النَّارِ
رواه الترمذي (2167) والحاكم (1/115)، وهو صحيح بطرقه وشواهده.
TRADISI MASYARAKAT INDONESIA
TAHLIL dan SELAMATAN TUJUH HARI
AL-QUR’AN MENGANJURKAN BERDO’A UNTUK ORANG YANG TELAH WAFAT
SEKALIGUS MENJELASKAN BAHWA UKHUWAH ISLAMIYAH TIDAK TERPUTUS KARENA KEMATIAN
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ  [الحشر/10]
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo'a, "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang wafat mendahului kami  dengan membawa iman. Dan janganlah Engkau memberikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al-Hasyr: 10)
PAHALA SEDEKAH SAMPAI PADA ORANG YANG TELAH WAFAT
عَنْ عاَ ئِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَ تَى النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وسلِّم فَقَالَ , يَا رَسُولَ الله إِنَّ اُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُـهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم, 1672 )
"Dari 'Aisyah-radhiyallahu 'anha, "Seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, "Ibu saya meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga jika ia dapat berwasiat, tentu ia akan berwasiat untuk bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya? "Nabi SAW menjawab, "Ya"." (HR. Muslim, [1672])
SEDEKAH BISA BERUPA DZIKIR ATAU TAHLIL
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ rقَالُوا للنَّبِيِّ صلى الله عليه وسـلم يَارَسُـولَ الله ذَهَبَ أَهْلُ الدُّ ثُّورِ باْلأُجُوْرِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَ يَتَصَدَّ قُونَ بِفُضَولِ أَمْوَا لِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً  وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً (رواه مسلم, 1674).
"Dari Abu Dzarr t, ada beberapa sahabat bertanya kepada Nabi r, "Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi r menjawab, "Bukankah Allah I telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap bacaan La ilaaha Illallah adalah sedekah." (HR. Muslim,[1674]).
SELAMATAN TUJUH HARI KEMATIAN
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُّطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْاَيَّامَ. (رواه الإمام أحمد في كتاب الزهد, الحاوي للفتاوى, 2/178)
“Dari Sufyan, berkata, “Imam Thawus berkata, “sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan yang pahalanya untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.” (HR. al-Imam Ahmad dalam kitab al-Zuhud, al-Hawii Lilfataawi juz 2, hal. 178)
Sebagian Tradisi Memberi
Makan Kepada Penta’ziah
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ, وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لاَ تَعْرِف
(صحيح البخاري, رقم 11)
Dari Abdullah bin Amr RA, ada seorang laki-laki bertanya pada Nabi SAW, “Perbuatan apakah yang paling baik di dalam ajaran orang islam?” Rasulullah SAW menjawab, “menyuguhkan makanan dan mengucapkan salam, baik kepada orang yang engkau kenal atau tidak” (HR. al-Bukhari)
Sunnah saling bersedekah makanan
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ (رواه مسلم:4785)
“Dari Abi Dzarr RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Dzar, jika kamu memasak kuah, maka perbanyaklah airnya, dan bagi-bagikanlah kepada tetanggamu.” (Shahih Muslim, 4785)
قَالَ شَيْخُنَا الْعَارِفُ الشَّعْرَاوِي: كَانَ التَّابِعُوْنَ يُرْسِلُوْنَ الْهَدِيَّةَ لِأَخِيْهِمْ وَيَقُوْلُوْنَ نَعْلَمُ غِنَاكَ عَنْ مِثْلِ هَذَا وَإِنَّمَا أَرْسَلْنَا ذَلِكَ لِتَعْلَمَ أَنَّكَ مِنَّا عَلَى بَالٍ (المناوى، فيض القدير،  ج 3 ص273)
“Syaikh kami al-Arif al-Sya’rawi menyatakan bahwa para tabi’in memiliki kebiasaan memberikan hadiah kepada saudara-saudaranya. Mereka berkata, “Kami tahu bahwa engkau tidak membutuhkan benda yang kami berikan ini. tapi kami memberikannya kepadamu agar kamu tahu bahwa kami masih peduli dan menganggapmu sebagai sahabat.” (Faidh al-Qadir, juz III, hal 272)
Sayyidina Umar  RA memerintahkan agar menyuguhkan makanan kepada penta’ziahnya
وَعَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: حِيْنَ طُعِنَ عُمَرُ أَمَرَ صُهَيْبًا أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلَاثًا, وَأَمَرَ بِأَنْ يَجْعَلَ لِلنَاسِ طَعَامًا, (ذكر الحافظ ابن حجر في كتابه "المطالب العالية في زوائد المسانيد الثمانية" (1/199), وقال إسناده حسن )
Dari al-Ahnaf bin Qais dia berkata: ketika sayyidina Umar RA menjelang wafat (karena ditikam dengan pisau oleh Abu lu’lu’ah al-Majusi) beliau menugas Suhaib untuk melaksanakan shalat dengan orang banyak tiga kali dan memerintahkan agar menyuguhkan makanan untuk mereka. (dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab al-Mathalib al-’Aliyah, Juz I, hal. 199, dengan sanad yang hasan)
MENGANTAR JENAZAH DENGAN MEMBACA TAHLIL
عن ابن عمر رضي الله عنه, قَالَ لَمْ نَكُنْ نَسْمَعُ مِنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجَنَازَةِ, إِلَّا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا الله, مُبْدِيًّا, وَرَاجِعًا. أخرجه ابن عدى في الكامل. (نصب الراية في تخريج أحاديث الهداية, 2/ 212)
Ibn Umar RA berkata, “Tidak pernah terdengar dari Rasulullah SAW ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan: La Ilaaha Illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya” (HR. Ibnu ‘Adi)
TALQIN MAYYIT
وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيْرِ وَابْنُ مَنْدَةَ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: "إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ, فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ, فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ, ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلاَن َبِنْ فَلاَنَةْ, فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ, ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بِنْ فَلاَنَةَ, فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا, ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بِنْ فُلاَنَةَ, فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ, وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ, فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةُ اللهِ أَنْ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا, وَبِاْلاِسْلاَمَ دِيْنًا, وَبِمُمَحَمَّدٍ نَبِيَّا, وَبِالْقُرْآنَ إِمَامًا, فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ, وَيَقُوْلُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ, فَيَكُوْنُ اللهُ حَجِيْجَهُ دُوْنَهُمَا", فَقَالَ رَجُلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ, فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ: فَيَنْسُبُهُ اِلَى حَوَّاءَ, يَا فُلاَنَ بِنْ حَوَّاءَ". (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي, أحكام تمني الموت ص 19)
“Al-Thabrani telah meriwayatkan dalam Al-Muj’am al-Kabir dan Ibn Mandah, dari Abu Umamah dari Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang saudaramu meninggal dunia, lalu kalian meratakan tanah di atas makamnya, maka hendaklah salah seorang kamu berdiri di bagian kepalanya dan katakanlah, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia mendengar tapi tidak menjawab panggilan itu. Kemudian katakan, “Wahai fulan bin fulanah”, maka ia akan duduk dengan sempurna. Kemudian katakan, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia berkata, “Berilah kami petunjuk, semoga Allah mengasihimu”, tetapi kalian tidak merasakannya. Lalu katakan, “Ingatlah janji yang kamu pegang ketika keluar dari dunia, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad utusan Allah, bahwa kamu rela menerima Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al Qur’an sebagai pemimpin.” Maka pada saat itu, Malaikat Munkar dan nakir akan saling berpegangan tangan dan berkata, “Mari kita pergi. Kita tidak duduk di samping orang yang telah dituntun jawabannya.” Nantinya Allah akan memberikan jawaban terhadap  kedua malaikat itu.” Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, jika Ibu mayit itu tidak diketahui?” Beliau menjawab, “Nisbatkan kepada Hawwa, “Wahai fulan bin hawwa”. (Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Najdi, Ahkam Tamanni Al-Maut, hal 19)
ZIARAH KUBUR
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا (رواه ومسلم، رقم 594)
“Rasulullah SAW bersabda: aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah” (HR. Muslim [594])
 
قَالَ اِبْنُ حَزَمٍ اِنَّ زِيَارَةَ الْقُبُوْرِ وَاجِبَةٌ وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً فِى الْعُمْرِ لِوُرُوْدِ اْلاَمْرِ بِهِ (العسقلانى، فتح البارى، ج 3 ص 188)
Kata Ibn Hazm wajib ziarah kubur walaupun sekali seumur hidup, karena adanya perintah tentang hal itu .( fathul bari juz 3 hal 188)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَال زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ (رواه مسلم رقم 2304)
“Dari Abi Hurairah, berkata bahwa Rasulullah SAW berziarah ke pesarean ibundanya dan beliau menangis serta membuat orang di sekitarnya menangis” (HR. Muslim [2304])
Ziarah ke makam wali merupakan tradisi ulama salaf
سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ: اِنِّي لِأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ اِلَى قَبْرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ فَإِذَا عُرِضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ اِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ.(تاريخ بغداد,ج1 ص122)
Saya mendengar Imam Syafi’i RA berkata: “Sesungguhnya aku mengambil barakah dari Imam Abu Hanifah dan aku berziarah ke makamnya setiap hari. Jika aku dihadapkan pada suatu kebutuhan, aku shalat dua rakaat kemudian mendatangi makam beliau, dan memohon kepada Allah SWT untuk mengabulkan kebutuhanku.” (Tarikh Baghdad, juz 1 hal 122)
QUUNUT
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.
(رواه أحمد والدارقطني).
“Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik t. Beliau berkata, “Rasulullah  r senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat.” (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III, hal. 162 [12679], Sunan al-Daraquthni, juz II, hal. 39 [9]).
Sanad hadits ini shahih sehingga dapat dijadikan pedoman. Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ menegaskan:
حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الْحُفَّاظِ وَصَحَّحُوْهُ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى صِحَّتِهِ اْلحَافِظُ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍ الْبَلْخِي، وَالْحَاكِمُ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ فِي مَوَاضِعَ مِنْ كُتُبِ الْبَيْهَقِي وَرَوَاهُ الدَّارَقُطْنِي مِنْ طُرُقٍ بِأَسَانِيْدَ صَحِيْحَةٍ (المجموع ج 3 ص 504).
“Hadits tersebut adalah shahih. Diriwayatkan oleh banyak ahli hadits dan mereka kemudian menyatakan kesahihannya. Di antara orang yang menshahihkannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi serta al-Hakim Abu Abdillah di dalam beberapa tempat di dalam kitab al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya dari berbagai jalur sanad yang shahih.” (Al-Majmu’, juz III, hal. 504).
MEMAHAMI TAWASSUL
Definisi Tawassul
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيِّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ (العبدري, الشرح القويم, ص 378)
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah SWT dengan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.” (Al-Hafizh Al-‘Abdari, Al-Syarh Al-Qiyam, Hal.378)
Dasar-Dasar Tawassul dari Al Qur an
وَاسْتَعِيْنُوا بِالصَّبْرِ وَالصَلاَةِ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِيْنَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (QS. Al-Baqarah: 45)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al-Maidah: 35)
DASAR-DASAR IBADAH
  di Bulan Suci Ramadlan
Anjuran ziarah kubur (menyekar)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
(رواه ومسلم، رقم 594)
“Rasulullah SAW bersabda: aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah” (HR. Muslim [594])
قَالَ اِبْنُ حَزَمٍ اِنَّ زِيَارَةَ الْقُبُوْرِ وَاجِبَةٌ وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً فِى الْعُمْرِ لِوُرُوْدِ اْلاَمْرِ بِهِ
(العسقلانى، فتح البارى، ج 3 ص 188)
Kata Ibn Hazm wajib ziarah kubur walaupun sekali seumur hidup, karena adanya perintah tentang hal itu. (Fathul Bari juz 3 hal 188)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَال زَارَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ (رواه مسلم رقم 2304)
“Dari Abi Hurairah, berkata bahwa Rasulullah SAW berziarah ke pesarean ibundanya dan beliau menangis serta membuat orang di sekitarnya menangis” (HR. Muslim [2304])
Saling memberi hadiah ( Ateran ) adalah tradisi ulama salaf (Tabi’in)
قَالَ شَيْخُنَا الْعَارِفُ الشَّعْرَاوِي: كَانَ التَّابِعُوْنَ يُرْسِلُوْنَ الْهَدِيَّةَ لِأَخِيْهِمْ وَيَقُوْلُوْنَ نَعْلَمُ غِنَاكَ عَنْ مِثْلِ هَذَا وَإِنَّمَا أَرْسَلْنَا ذَلِكَ لِتَعْلَمَ أَنَّكَ مِنَّا عَلَى بَالٍ (المناوى، فيض القدير،  ج 3 ص273)
“Syaikh kami al-Arif al-Sya’rawi menyatakan bahwa para tabi’in memiliki kebiasaan memberikan hadiah kepada saudara-saudaranya. Mereka berkata, “Kami tahu bahwa engkau tidak membutuhkan benda yang kami berikan ini. tapi kami memberikannya kepadamu agar kamu tahu bahwa kami masih peduli dan menganggapmu sebagai sahabat.” (Faidh al-Qadir, juz III, hal 272)