Pengikut

Jumat, 06 Juli 2012

Berpuasalah kamu setelah menyaksikan bulan

Berpuasalah kamu setelah menyaksikan bulan



Firman Allah ta'ala yang artinya


”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)


“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS Al Baqarah [2]:189 )


“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua” (QS Yaasin [36]:39)


“Sebagai bentuk tandan yang tua” maksudnya: bulan-bulan itu pada awal bulan, kecil berbentuk sabit, kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung".


Alhamdulillah, sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempertemukan kita dengan bulan Suci Ramadhan, bulan yang mulia bulan yang penuh rahmat.


Segelintir orang-orang berpesan "keperluan ummat dalam menentukan dan penjadwalan ritme hidup yang padat dan terjadwal dengan rapi juga harus mendapatkan perhatian para pengambil keputusan dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, untuk itulah pentingnya menggunakan ilmu hisab (perhitungan). Jadi dengan semakin cepat kita menentukan kapan saat puasa dan kapan saat berhari raya , hal itu semakin baik untuk kaum muslimin."

Kalimat seperti ”keperluan ummat dalam menentukan dan penjadwalan ritme hidup yang padat dan terjadwal dengan rapi" menunjukan kecondongan kepada al wahn, cinta dunia takut mati atau lebih mementingkan kehidupan dunia daripada kepentingan kehidupan di akhirat kelak.

Pada hakikatnya, ilmu hisab (perhitungan) adalah sebagai alat bantu untuk merukyat (melihat hilal).

Rukyat tanpa data hisab yang akurat sudah barang tentu akan terjadi kesalahan dalam merukyat. Karena untuk mengetahui posisi dan ketinggian hilal itu harus menggunakan ilmu hisab. Begitu pula lamanya hilal di atas atau di bawah ufuk itu hanya bisa diketahui dengan ilmu hisab. Adapun lamanya hilal di atas ufuk hanya sekitar beberapa menit atau detik saja, tergantung hilalnya.

Kyai Thobary Syadzily mengatakan "Ilmu hisab itu ibarat alamat lengkap seseorang, sedangkan rukyat itu ibaratnya rumahnya. Bagaimana kita bisa menemukan rumah seseorang kalau tanpa adanya alamat jelas"

Mereka yang mengedepankan ilmu hisab (perhitungan) berdasarkan ijtihad mereka terhadap dalil seperti


صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِهِ فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ

”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.”

Bagi mereka "maka kira-kirakanlah" penafsirannya adalah ”kirakanlah dengan memakai hisab (perhitungan)”

Namun banyak dalil yang menegaskan "jika terhalang oleh awan" yang menunjukkan terhalangnya penglihatan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)" (HR Bukhari 1767)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)" (HR Bukhari 1773).

Bahkan ada hadits telah jelas-jelas menegaskan untuk menggenapkannya seperti


حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh". (HR Bukhari 1776)

Begitupula telah jelas adanya larangan berpuasa pada yaum asy-syakk atau hari yang diragukan, yakni terdapat keraguan apakah hari tersebut masih termasuk bulan Sya’ban atau telah masuk bulan Ramadhan.

Diriwayatkan dari Ammar bin Yasir radliyallâhu anhu, bahwa beliau berkata :


مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه أبو داود والنسائي والترمذي)

"Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia telah durhaka pada Abul Qasim (Rasulullah) shallallâhu alaihi wa sallam" (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Turmudzi)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda :


إذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا صِيَامَ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ (رواه أبو داود وغيره)

"Jika Sya’ban telah berlalu separuh, maka tidak ada puasa hingga tiba Ramadhan" (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda :


لَا تَقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلَا بِيَوْمَيْنِ إلَّا أَنْ يُوَافِقَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ (رواه البخاري ومسلم)

"Jangan mendahului bulan (Ramadhan) dengan (berpuasa) sehari atau dua hari, kecuali hari tersebut bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan salah seorang dari kalian" (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal yang dimaksud dengan "puasa yang biasa dilakukan" adalah puasa sunnah bukan puasa yang diniatkan untuk puasa wajib di bulan Ramadhan

Secara definitif, yaum asy-syakk adalah hari ke-30 dari bulan Sya’ban, di mana telah tersiar kabar bahwa semalam hilal berhasil di-rukyah atau dilihat, dan keadaan langit pada malam itu cerah, tidak mendung, tetapi tak satupun orang yang menyatakan kesaksian di hadapan hakim bahwa dia telah melihat hilal. Atau ada kesaksian penglihatan hilal, tetapi dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai saksi hilal, seperti anak kecil, wanita, budak atau orang fasiq (pelaku maksiat), yang kesaksiannya tidak diyakini kebenarannya.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (QS An Nisaa [4]:59)

Oleh karenanya jika kita menemukan perselisihan karena perbedaan pendapat di antara para ulama maka kita taati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk mengikuti hasil kesepakatan mayoritas para ulama (as-sawad al a’zham) dan tinggalkanlah pendapat ulama yang menyelisihi atau mengingkari hasil kesepakatan mayoritas para ulama (as-sawad al a’zham)

Kesepakatan mayoritas para ulama (as-sawad al a’zham) di negara kita dihasilkan oleh sidang itsbat yang di selenggarakan oleh pemerintah (ulil amri) berdasarkan kesepakatan para ahi hisab dan rukyat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (pemahaman mayoritas kaum muslim atau pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:


“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham“.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

1 komentar:

  1. yang jelas baik merujuk rukyat murni maupun hisab puasa Ramadah tidak akan kurang dan lebih dari 29 dan 30 hari, ini yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Pengikut rukyat, imkanul rukyat dan hisab sama sama mayoritas dengan rujukan ulamanya masing masing (ukuranya dunia bukan lokal)dan mereka mencari kebenaran bukan mencari kesesatan. masing-masing memiliki "ushul fiqih astronomi". so, tulisan diatas dengan dalil dalil nya hanya penafsian yg tendesius berdasarkan pemahaman dan wawasan penulis saja

    BalasHapus