Pengikut

Minggu, 22 Juli 2012

Hakikat Puasa yang Sesungguhnya

Oleh : Ustd. Zon Jonggol

“Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, mendengar seorang wanita
tengah mencaci-maki hamba sahayanya,
padahal ia sedang berpuasa. Nabi
shallallahu alaihi wasallam, segera
memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah
hidangan ini “.

Keruan saja wanita itu menjawab, “Ya
Rasulullah, aku sedang berpuasa”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata
dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu ?”.

Sesungguhnya Allah
menjadikan puasa sebagai penghalang
(hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa
sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa
banyaknya orang yang lapar”. (HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, ingin
mengingatkan kaum Muslim hakikat puasa
yang sebenarnya.
Istilah shaum bersumber dari bahasa Arab
yang artinya, menahan, mengekang atau
mengendalikan (al-imsak).
Secara syariat (fikih), makna puasa adalah
menahan diri dari segala sesuatu yang
dapat membatalkan mulai terbitnya fajar
shubuh hingga terbenamnya matahari yang
disertai dengan niat.
Puasa terdiri dari tiga tingkatan.
Puasa perut, tingkatan paling awal adalah
puasa yang memenuhi syariat, yakni puasa
muslim pada umumnya.
Puasa hawa nafsu, tingkatan selanjutnya
setelah puasa perut, puasa sesauai syariat
yang diikuti dengan menahan hawa nafsu.
“Apabila engkau berpuasa hendaknya
telingamu berpuasa dan juga matamu,
lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap
anggota tubuhmu atau setiap panca
inderamu” (al Hadits).
Puasa qalbu, tingkatan tertinggi setelah
puasa hawa nafsu, puasa yang diikuti
dengan menahan dari segala
kecenderungan yang rendah dan pikiran
yang bersifat duniawi, serta memalingkann
diri dari segala sesuatu selain Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda "Ada tiga orang yang doa mereka
tidak ditolak oleh Allah: Pemimpin yang adil,
orang yang berpuasa sampai ia berbuka,
dan doanya orang yang terzalimi." (HR. Al-
Tirmidi, Ahmad, Ibnu Majah)
Doa yang pasti dikabulkanNya adalah doa
kekasih Allah (wali Allah)
Dalam sebuah hadit qudsi, Allah ta'ala
berfirman “jika Aku sudah mencintainya,
maka Akulah pendengarannya yang ia
jadikan untuk mendengar, dan
pandangannya yang ia jadikan untuk
memandang, dan tangannya yang ia jadikan
untuk memukul, dan kakinya yang
dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia
meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta
perlindungan kepada-KU, pasti Ku-
lindungi” (HR Bukhari 6021)
Artinya keterkabulan doa tergantung
kedekatan dengan Allah ta'ala.
Kaum muslim yang dekat dengan Allah
ta'ala atau yang telah meraih maqom
(derajat) disisiNya adalah yang bertemu dan
bersama Allah sehingga menyaksikan Allah
dengan hatinya (ain bashiroh)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda yang artinya "Bagi orang yang
berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu
kegembiraan ketika berbuka dan
kegembiraan ketika bertemu dengan
Tuhannya” (HR Bukhari).
Orang yang berpuasa yang bertemu dan
bersama Allah ta'ala adalah orang
menjalankan puasa qalbu yakni mereka
yang takut kepada Allah karena mereka
selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa
Jalla atau mereka yang selalu memandang
Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap
akan bersikap atau berbuat sehingga
mencegah dirinya dari melakukan sesuatu
yang dibenciNya , menghindari perbuatan
maksiat, menghindari perbuatan keji dan
mungkar hingga terbentuklah muslim yang
berakhlakul karimah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda, ”Pakailah pakaian yang baru,
hiduplah dengan terpuji (mulia), dan
matilah dalam keadaan mati
syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pahamlah kita kenapa kaum muslim ketika
selesai menjalankan ibadah puasa
Ramadhan kembali dalam keadaan suci
bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju
baru” yakni kemenangan menjaga hawa
nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan
beradab mulia.
Namun umumnya hanya memaknai secara
lahiriah atau tekstual dengan mengenakan
“baju baru” disaat hari raya Idul Fitri.
Akhlak adalah pakaian ruhani. Semakin
akhlaknya tambah bagus, pasti ruhaninya
tambah bersih. Diri yang dapat
mengendalikan hawa nafsu yang dikatakan
“mematikan” diri atau naiknya jiwa
meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat
dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
sehingga dapat “mati syahid” atau
menyaksikan Allah dengan hati (ain
bashiroh).


0 komentar:

Posting Komentar