Pengikut

Jumat, 06 Juli 2012

Inilah Penjelasan tentang syariat

Penjelasan tentang syariat

Apakah yang dimaksud dengan syariat ?

Syari’at bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum.

Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah. Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.

Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum.

Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maidah [5]: 48)

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Maidah [5]: 18).

“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” (QS. Asy-Syuuraa [42]: 13).

Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah subhanahu wa ta'ala melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Jadi syariat adalah agama atau dalam beberapa hadits disebut juga dengan "urusan kami" , urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya.

Firman Allah ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3)

Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah: 3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh)

Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)

“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)

Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.

Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)

Perbuatan manusia ada dua jenis yakni

1. Dalam perkara syariat atau
2. Di luar perkara syariat

Di dalam perkara syariat, berlaku kaidah ushul fiqih “al-ashlu fil ‘ibaadati at-tahrim” yang artinya “hukum asal ibadah adalah haram” maksudnya ibadah dalam perkara syariat (apa yang telah disyariatkanNya) harus berdasarkan dalil yang menetapkannya.

Kita tidak boleh menetapkan hukum perkara terkait dosa, baik sesuatu yang ditinggalkan berdosa (perkara kewajiban) maupun sesuatu yang dikerjakan / dilanggar berdosa (perkara larangan/pengharaman) tanpa ada dalil yang menetapkannya.

Kita tidak boleh melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya dan bagi yang melakukannya termasuk melakukan bid'ah dholalah karena menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak diturunkan keterangannya sehingga pelakunya akan bertempat di neraka.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

Sedangkan di luar perkara syariat, berlaku kaidah ushul fiqih

“wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah”

yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat) atau segala perkara di luar perkara syariat adalah boleh saja (mubah) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya atau sampai ada dalil yang melarangnya atau mengharamkannya“.

Maksudnya adalah “segala kebiasan (adat) atau segala perkara di luar perkara syariat (diluar dari apa yang telah disyariatkanNya) selama tidak melanggar satupun laranganNya atau selama tidak ada laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta ijma dan qiyas maka hukum asalnya adalah mubah (boleh). Perubahan hukum asalnya tergantung jenis perbuatannya.“

Jika menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas dinamakan sunnah sayyiah (contoh / teladan / rintisan / perkara baru yang buruk) dan termasuk bid’ah dholalah

Jika tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas maka dinamakan sunnah hasanah (contoh / teladan / rintisan / perkara baru yang baik) dan termasuk bid’ah hasanah

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan batasan bagi kaum muslim yang akan melakukan perbuatan di luar perkara syariat (di luar dari apa yang disyariatkanNya) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.


قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Jadi kesimpulannya ahli bid'ah ada dua jenis yakni

1. Mereka yang mengada-ada dalam perkara syariat atau dalam urusan agama (urusan kami) yakni mereka melarang sesuatu yang tidak dilarangNya , mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya

2. Mereka yang mencontohkan atau meneladankan perbuatan di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur'an, Hadits, Ijma dan Qiyas.


Wassalam


Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

0 komentar:

Posting Komentar