Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak
1. Firman Allah:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat- Nya kepada manusia, supaya mereka
bertaqwa”. (QS. 2:187).2. HR. Bukhari:Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “diturunkan
oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlahhingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam” dan belum diturnkankalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka
masyarakat kalau ingin melaksanakanpuasa, salah satu diantara mereka
mengaitkan benang putih dan benanghitam, dan mereka meneruskan makan
hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu
Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu
fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang
dimaksud adalah malam dan siang.3. HR.
Turmudzi:Dari Samurah bin Jundub ra, ia
mengatakan: RasululLah SAW mengatakan:
Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian,
dan juga fajar yang memanjang, akan
tetapi [yang melerai adalah] fajar yang
menyebar di ufuk.4. HR. Bukhari:Dari
Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, ia
mengatakan: Janganlah adzan Bilal
mencegah salah satu di antara kalian dari
makan sahurnya , karena ia
mengumandangkan adzan di tengah
malam, untuk mengingatkan di antara
kalian yang bangun dan untuk
membangunkan di antara kalian yang
tidur.5. HR. Bukhari:
.
Dari ‘Aisyah ra, dari Nabi SAW, ia
mengatakan: “Sesungguhnya Bilal
mengumandangkan adzan di malam hari,
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda : ‘Makan minumlah
kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.
Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah
terbitnya fajar shadiq” [9] (HR. Bukhari no.
1918, 1919)..
6. HR. Bukhary Muslim
diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu
dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah
berkata :
”Kami pernah makan sahur bersama Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian
kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku
(Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara
adzan dan makan sahur? Ia (Zaid)
menjawab : ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ (kira-kira bacaan
lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” (HR.
Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini
adalah lafadh Al-Bukhari).
Berdasarkan hadits No. 5, maka inilah
waktu yang paling tepat untuk berhenti
makan atau sahur yaitu kadar membaca 50
ayat al-quran (dengan tartil dan wajar)
sebelum adzan subuh (pada zaman nabi
adzan ummi maktum).
Jadi pada zaman rasulullah ada dua adzan
yaitu adzan bilal untuk membangunkan
manusia agar shalat tahajud dan sahur,
serta yang kedua adzan ummi maktum
untuk shalat subuh.
Inilah salah satu dasar waktu imsak (waktu
yang meragukan antara malam dengan
fajar sidiq) yang mana seorang muslim
akan berhati-hati atas perkara yang subhat
ini.
Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf
menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah
fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan
talkhish daripada ajaran guru-guru beliau
terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih al-
Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin
Zain BinSmith, pada halaman 444
menyatakan, antara lain:-
ﻭ ﻳﻤﺴﻚ ﻧﺪﺑﺎ ﻋﻦ ﺍﻷﻛﻞ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺑﻨﺤﻮ ﺧﻤﺴﻴﻦ
ﺁﻳﺔ – ﺭﺑﻊ ﺳﺎﻋﺔ
…”Dan imsak daripada makan (yakni
bersahur) itu mandub (disunnatkan)
sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan
50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15
minit)”. Yakni seseorang itu disunnatkan
melakukan imsak sebelum fajar kira-kira 15
minit atau kadar pembacaan 50 ayat yang
sederhana dengan kelajuan yang
sederhana. Inilah yang dimaksudkan oleh
ulama kita sebagai waktu imsak yang
disunnatkan sebagai langkah berhati-hati
dan mengikut sunnah Junjungan Nabi
s.a.w. Sedangkan imsak setelah masuk
fajar adalah wajib. Oleh itu seseorang
masih boleh makan-minum selepas waktu
imsak tadi selagi mana waktu Subuh
belum masuk kerana imsak pada waktu itu
dihukumkan sunnat. Tidaklah benar
dakwaan yang dibuat oleh Hafiz Firdaus &
the gang yang menyatakan bahawa
menetapkan waktu imsak beberapa minit
sebelum fajar itu sebagai bid`ah dan tidak
punya dasar dalam Islam. Ukuran minit-
minit tersebut diambil daripada kadar
pembacaan 50 ayat tersebut, yang
merupakan kadar yang dinyatakan dalam
beberapa hadits shohih sebagai senggang
waktu antara sahur Junjungan s.a.w.
dengan masuknya sholat. Antara hadits-
haditsnya ialah yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari berbunyi:-
ﻋَﻦْ ﺃﻧﺲ ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ
ﺗَﺴَﺤَّﺮْﻧﺎَ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻗﺎﻡ
ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ. ﻗﻠﺖ: ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﺫﺍﻥِ ﻭ ﺍﻟﺴُّﺤُﻮْﺭِ؟
ﻗﺎﻝ: ﻗَﺪْﺭُ ﺧَﻤْﺴِﻴْﻦَ ﺁﻳﺔً
Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan
bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a.
berkata: “Kami telah makan sahur
bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w.,
kemudian baginda bangun mengerjakan
sembahyang. Sayyidina Anas bertanya
kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya
antara azan (Subuh) dengan masa makan
sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira
sekadar membaca 50 ayat.”
Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau
senggang masa antara bersahurnya
Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah
kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak
membawa makna yang Junjungan s.a.w.
makan sahur sehingga berkumandang
azan Subuh, yang jelas ialah ia
menyatakan bahawa Junjungan bersahur
dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50
ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah
yang difahami oleh para ulama kita
sehingga menetapkan kesunnahan
berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat
tersebut yang dianggarkan pada kadar 10
– 15 minit. Senggang masa antara sahur
dan masuk fajar (azan subuh) yang
dinamakan sebagai waktu imsak yang
dihukumkan sunnat imsak (menahan diri
daripada perkara membatalkan puasa),
diperjelaskan lagi dalam sepotong hadits
yang juga riwayat Imam al-Bukhari
berbunyi:-
ﻋَﻦْ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺗَﺴَﺤَّﺮَﺍ، ﻓﻠﻤﺎ ﻓﺮﻏﺎ
ﻣﻦ ﺳﺤﻮﺭﻫﻤﺎ ﻗﺎﻡ ﻧﺒﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ
ﻓﺼﻠﻰ. ﻗﻠﻨﺎ ﻷﻧﺲ: ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﻓﺮﺍﻏﻬﻤﺎ ﻣﻦ
ﺳﺤﻮﺭﻫﻤﺎ ﻭ ﺩﺧﻮﻟﻬﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ؟
ﻗﺎﻝ: ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﻘﺮﺃ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺧَﻤْﺴِﻴْﻦَ ﺁﻳﺔً
Daripada Sayyidina Anas bin Malik r.a.
bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersahur
bersama-sama dengan Sayyidina Zaid bin
Tsabit. Apabila kedua mereka selesai
daripada sahur mereka, baginda bangun
mendirikan sembahyang. Kami bertanya
kepada Anas: “Berapa lamakah masa
(senggang waktu) di antara selesai mereka
berdua daripada sahur dan masuk mereka
berdua kepada sembahyang (yakni “berapa
lamakah masa antara selesai Junjungan
dan Zaid bersahur dan masuknya waktu
sholat Subuh”). Dia menjawab: “Sekadar 50
ayat yang dibacakan seseorang.”
7. Mukmin wajib meninggalkan perkara
yang subhat
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻨُّﻌْﻤَﺎﻥِ ﺑْﻦِ ﺑَﺸِﻴْﺮٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ
ﻗَﺎﻝَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ
ﺃُﻣُﻮْﺭٌ ﻣُﺸْﺘَﺒِﻬَﺎﺕٌ ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬُﻦَّ ﻛَﺜِﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻓَﻤَﻦِ
ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻓَﻘَﺪْ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳْﻨِﻪِ ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ
ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ، ﻛَﺎﻟﺮَّﺍﻋِﻲ ﻳَﺮْﻋﻰَ
ﺣَﻮْﻝَ ﺍﻟْﺤِﻤَﻰ ﻳُﻮْﺷِﻚُ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﺗَﻊَ ﻓِﻴْﻪِ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻣَﻠِﻚٍ
ﺣِﻤًﻰ ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﺣِﻤَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺤَﺎﺭِﻣُﻪُ ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَﺤَﺖْ ﺻَﻠَﺢَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻭَﺇِﺫَﺍ
ﻓَﺴَﺪَﺕْ ﻓَﺴَﺪَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﺃَﻻَ ﻭَﻫِﻲَ
ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ ]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir
radhiallahuanhu dia berkata: Saya
mendengar
Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-
perkara yang syubhat (samar-samar) yang
tidak diketahui oleh orang banyak. Maka
siapa yang takut terhadap syubhat berarti
dia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus
dalam perkara syubhat, maka akan
terjerumus dalam perkara yang
diharamkan. Sebagaimana penggembala
yang menggembalakan hewan
gembalaannya disekitar (ladang) yang
dilarang untuk memasukinya, maka lambat
laun dia akan memasukinya. Ketahuilah
bahwa setiap raja memiliki larangan dan
larangan Allah adalah apa yang Dia
haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini
terdapat segumpal daging, jika dia baik
maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia
buruk, maka buruklah seluruh tubuh;
ketahuilah bahwa dia adalah hati
“. (Riwayat Bukhori dan
Muslim)
Dari nash-nash di atas, ada beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
[1] Waktu berakhirnya sahur [mulai
berpuasa] adalah terbitnya fajar yang
menyebar di ufuk, yang dalam fikih
disebut sebagai “fajar shadiq”, bukan fajar
yang memanjang vertikal, yang dalam fikih
dinamai “fajar kadzib”.
Fajar kadzib adalah terangnya ufuk secara
vertikal, yang beberapa menit kemudian
diikuti oleh kegelapan kembali. Sementara
fajar shadiq adalah fajar yang semakin
lama semakin terang hingga matahari
terbit.
[2] Sebelum turun kalimat “minal fajr, [yaitu
fajar]“, sebagian sahabat ada yang
mengira, bahwa yang dimaksud dari ayat
di muka adalah terangnya pagi hingga
tampak jelas perbedaan antara benang
putih dan benang hitam. Baru setelah
turunnya kalimat tsb, mereka mengerti
bahwa yang dimaksud adalah terbitnya
fajar. Jadi sejak terbitnya fajar, puasa telah
dimulai.
[3] Pada masa Nabi SAW, ada dua adzan
yang dikumandangkan di pagi buta.
Pertama adzannya Bilal ra. sebelum terbit
fajar, untuk membangunkan mereka yang
tidur, dan untuk mengingatkan mereka
yang telah bangun akan dekatnya fajar.
Karena itu, Nabi memberitahukan kepada
para sahabat, bahwa adzan Bilal tidak
untuk mengumandangkan datangnya
subuh atau terbitnya fajar, dus, tidak
merupakan peringatan mulainya berpuasa.
“Janganlah adzan Bilal melerai sahur
kalian”.
Adzan kedua adalah adzannya Ibnu Ummi
Maktum, yang dikumandangkan saat
terbitnya fajar. Dan ini adalah waktu di
mulainya berpuasa.
[4] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah
gejala alam seperti halnya terbitnya mega
merah di ufuk barat [pertanda waktu
Maghrib], condongnya matahari ke barat
[pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala
alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak
lama sekali telah dapat diketahui melalui
ilmu falak [astronomi], sehingga untuk
mengetahuinya tidak perlu melalui
pengamatan alam secara langsung. Fajar
misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu
kita keluar ke alam bebas, kemudian
mengamatinya dengan mata telanjang,
akan tetapi cukup dengan memanfaatkan
kemajuan di bidang astronomi.
Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan
juga waktu imsak puasa kita, selama ini
secara keseluruhan memakai standar ilmu
falak, bukan melalui pengamatan alam
secara langsung. Dan pada kenyataannya,
penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa
dipertanggungjawabkan ketimbang
pengamatan secara langsung tsb.
[5] Ilmu Falak yang banyak berkembang di
penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”,
atau bersifat perkiraan, belum mampu
menetapkan waktu dengan keakuratan 100
%. Masih terdapat keragu-raguan sekitar
satu hingga dua menitan dari waku
faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan
yang banyak berkembang di negara kita,
terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif
atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur:
sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang
ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena
keakuratannya belum mampu mancapai
100 %, maka dalam penanggalan ditambahi
lima menit. Jadi yang tercatat dalam
penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi
ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula
waktu-waktu salat lainnya, ada
penambahan antara tiga hingga lima menit
dalam catatan di penanggalan.
[6] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit,
maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang
mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya],
menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam
pencatatan di penanggalan. Waktu yang
sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan
untuk menentukan mulainya berpuasa,
maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam
4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu
preventif imsak 10 menit. Kalau waktu
preventifnya adalah lima menit, maka
waktu imsak sebagaimana dalam
penanggalan adalah 4:25.
Dengan menghitung dua waktu preventif
sekaligus, yakni preventif subuh dan
preventif imsak, maka bisa dimengerti
kalau jarak antara waktu imsak dan adzan
subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara
teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu
imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar
shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang
tertulis dalam penanggalan bisa terpaut
antara 10 hingga 15 menit.
Dengan melihat keterangan-keteranan ini,
sebaiknya dalam berimsak mengikuti
penanggalan yang ada. Akan tetapi jika
terpaksa, bisa saja meneruskan makan dan
minum hingga mendekati adzan subuh sekitar 5 menitan.
Demikian, semoga membantu.
1. Firman Allah:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat- Nya kepada manusia, supaya mereka
bertaqwa”. (QS. 2:187).2. HR. Bukhari:Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “diturunkan
oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlahhingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam” dan belum diturnkankalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka
masyarakat kalau ingin melaksanakanpuasa, salah satu diantara mereka
mengaitkan benang putih dan benanghitam, dan mereka meneruskan makan
hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu
Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu
fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang
dimaksud adalah malam dan siang.3. HR.
Turmudzi:Dari Samurah bin Jundub ra, ia
mengatakan: RasululLah SAW mengatakan:
Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian,
dan juga fajar yang memanjang, akan
tetapi [yang melerai adalah] fajar yang
menyebar di ufuk.4. HR. Bukhari:Dari
Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, ia
mengatakan: Janganlah adzan Bilal
mencegah salah satu di antara kalian dari
makan sahurnya , karena ia
mengumandangkan adzan di tengah
malam, untuk mengingatkan di antara
kalian yang bangun dan untuk
membangunkan di antara kalian yang
tidur.5. HR. Bukhari:
.
Dari ‘Aisyah ra, dari Nabi SAW, ia
mengatakan: “Sesungguhnya Bilal
mengumandangkan adzan di malam hari,
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda : ‘Makan minumlah
kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.
Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah
terbitnya fajar shadiq” [9] (HR. Bukhari no.
1918, 1919)..
6. HR. Bukhary Muslim
diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu
dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah
berkata :
”Kami pernah makan sahur bersama Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian
kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku
(Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara
adzan dan makan sahur? Ia (Zaid)
menjawab : ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ (kira-kira bacaan
lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” (HR.
Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini
adalah lafadh Al-Bukhari).
Berdasarkan hadits No. 5, maka inilah
waktu yang paling tepat untuk berhenti
makan atau sahur yaitu kadar membaca 50
ayat al-quran (dengan tartil dan wajar)
sebelum adzan subuh (pada zaman nabi
adzan ummi maktum).
Jadi pada zaman rasulullah ada dua adzan
yaitu adzan bilal untuk membangunkan
manusia agar shalat tahajud dan sahur,
serta yang kedua adzan ummi maktum
untuk shalat subuh.
Inilah salah satu dasar waktu imsak (waktu
yang meragukan antara malam dengan
fajar sidiq) yang mana seorang muslim
akan berhati-hati atas perkara yang subhat
ini.
Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf
menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah
fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan
talkhish daripada ajaran guru-guru beliau
terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih al-
Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin
Zain BinSmith, pada halaman 444
menyatakan, antara lain:-
ﻭ ﻳﻤﺴﻚ ﻧﺪﺑﺎ ﻋﻦ ﺍﻷﻛﻞ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺑﻨﺤﻮ ﺧﻤﺴﻴﻦ
ﺁﻳﺔ – ﺭﺑﻊ ﺳﺎﻋﺔ
…”Dan imsak daripada makan (yakni
bersahur) itu mandub (disunnatkan)
sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan
50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15
minit)”. Yakni seseorang itu disunnatkan
melakukan imsak sebelum fajar kira-kira 15
minit atau kadar pembacaan 50 ayat yang
sederhana dengan kelajuan yang
sederhana. Inilah yang dimaksudkan oleh
ulama kita sebagai waktu imsak yang
disunnatkan sebagai langkah berhati-hati
dan mengikut sunnah Junjungan Nabi
s.a.w. Sedangkan imsak setelah masuk
fajar adalah wajib. Oleh itu seseorang
masih boleh makan-minum selepas waktu
imsak tadi selagi mana waktu Subuh
belum masuk kerana imsak pada waktu itu
dihukumkan sunnat. Tidaklah benar
dakwaan yang dibuat oleh Hafiz Firdaus &
the gang yang menyatakan bahawa
menetapkan waktu imsak beberapa minit
sebelum fajar itu sebagai bid`ah dan tidak
punya dasar dalam Islam. Ukuran minit-
minit tersebut diambil daripada kadar
pembacaan 50 ayat tersebut, yang
merupakan kadar yang dinyatakan dalam
beberapa hadits shohih sebagai senggang
waktu antara sahur Junjungan s.a.w.
dengan masuknya sholat. Antara hadits-
haditsnya ialah yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari berbunyi:-
ﻋَﻦْ ﺃﻧﺲ ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ
ﺗَﺴَﺤَّﺮْﻧﺎَ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻗﺎﻡ
ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ. ﻗﻠﺖ: ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﺫﺍﻥِ ﻭ ﺍﻟﺴُّﺤُﻮْﺭِ؟
ﻗﺎﻝ: ﻗَﺪْﺭُ ﺧَﻤْﺴِﻴْﻦَ ﺁﻳﺔً
Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan
bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a.
berkata: “Kami telah makan sahur
bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w.,
kemudian baginda bangun mengerjakan
sembahyang. Sayyidina Anas bertanya
kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya
antara azan (Subuh) dengan masa makan
sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira
sekadar membaca 50 ayat.”
Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau
senggang masa antara bersahurnya
Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah
kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak
membawa makna yang Junjungan s.a.w.
makan sahur sehingga berkumandang
azan Subuh, yang jelas ialah ia
menyatakan bahawa Junjungan bersahur
dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50
ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah
yang difahami oleh para ulama kita
sehingga menetapkan kesunnahan
berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat
tersebut yang dianggarkan pada kadar 10
– 15 minit. Senggang masa antara sahur
dan masuk fajar (azan subuh) yang
dinamakan sebagai waktu imsak yang
dihukumkan sunnat imsak (menahan diri
daripada perkara membatalkan puasa),
diperjelaskan lagi dalam sepotong hadits
yang juga riwayat Imam al-Bukhari
berbunyi:-
ﻋَﻦْ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺗَﺴَﺤَّﺮَﺍ، ﻓﻠﻤﺎ ﻓﺮﻏﺎ
ﻣﻦ ﺳﺤﻮﺭﻫﻤﺎ ﻗﺎﻡ ﻧﺒﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ
ﻓﺼﻠﻰ. ﻗﻠﻨﺎ ﻷﻧﺲ: ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﻓﺮﺍﻏﻬﻤﺎ ﻣﻦ
ﺳﺤﻮﺭﻫﻤﺎ ﻭ ﺩﺧﻮﻟﻬﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ؟
ﻗﺎﻝ: ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﻘﺮﺃ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺧَﻤْﺴِﻴْﻦَ ﺁﻳﺔً
Daripada Sayyidina Anas bin Malik r.a.
bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersahur
bersama-sama dengan Sayyidina Zaid bin
Tsabit. Apabila kedua mereka selesai
daripada sahur mereka, baginda bangun
mendirikan sembahyang. Kami bertanya
kepada Anas: “Berapa lamakah masa
(senggang waktu) di antara selesai mereka
berdua daripada sahur dan masuk mereka
berdua kepada sembahyang (yakni “berapa
lamakah masa antara selesai Junjungan
dan Zaid bersahur dan masuknya waktu
sholat Subuh”). Dia menjawab: “Sekadar 50
ayat yang dibacakan seseorang.”
7. Mukmin wajib meninggalkan perkara
yang subhat
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻨُّﻌْﻤَﺎﻥِ ﺑْﻦِ ﺑَﺸِﻴْﺮٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ
ﻗَﺎﻝَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ
ﺃُﻣُﻮْﺭٌ ﻣُﺸْﺘَﺒِﻬَﺎﺕٌ ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬُﻦَّ ﻛَﺜِﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻓَﻤَﻦِ
ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻓَﻘَﺪْ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳْﻨِﻪِ ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ
ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ، ﻛَﺎﻟﺮَّﺍﻋِﻲ ﻳَﺮْﻋﻰَ
ﺣَﻮْﻝَ ﺍﻟْﺤِﻤَﻰ ﻳُﻮْﺷِﻚُ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﺗَﻊَ ﻓِﻴْﻪِ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻣَﻠِﻚٍ
ﺣِﻤًﻰ ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﺣِﻤَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺤَﺎﺭِﻣُﻪُ ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَﺤَﺖْ ﺻَﻠَﺢَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻭَﺇِﺫَﺍ
ﻓَﺴَﺪَﺕْ ﻓَﺴَﺪَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﺃَﻻَ ﻭَﻫِﻲَ
ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ ]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir
radhiallahuanhu dia berkata: Saya
mendengar
Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-
perkara yang syubhat (samar-samar) yang
tidak diketahui oleh orang banyak. Maka
siapa yang takut terhadap syubhat berarti
dia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus
dalam perkara syubhat, maka akan
terjerumus dalam perkara yang
diharamkan. Sebagaimana penggembala
yang menggembalakan hewan
gembalaannya disekitar (ladang) yang
dilarang untuk memasukinya, maka lambat
laun dia akan memasukinya. Ketahuilah
bahwa setiap raja memiliki larangan dan
larangan Allah adalah apa yang Dia
haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini
terdapat segumpal daging, jika dia baik
maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia
buruk, maka buruklah seluruh tubuh;
ketahuilah bahwa dia adalah hati
“. (Riwayat Bukhori dan
Muslim)
Dari nash-nash di atas, ada beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
[1] Waktu berakhirnya sahur [mulai
berpuasa] adalah terbitnya fajar yang
menyebar di ufuk, yang dalam fikih
disebut sebagai “fajar shadiq”, bukan fajar
yang memanjang vertikal, yang dalam fikih
dinamai “fajar kadzib”.
Fajar kadzib adalah terangnya ufuk secara
vertikal, yang beberapa menit kemudian
diikuti oleh kegelapan kembali. Sementara
fajar shadiq adalah fajar yang semakin
lama semakin terang hingga matahari
terbit.
[2] Sebelum turun kalimat “minal fajr, [yaitu
fajar]“, sebagian sahabat ada yang
mengira, bahwa yang dimaksud dari ayat
di muka adalah terangnya pagi hingga
tampak jelas perbedaan antara benang
putih dan benang hitam. Baru setelah
turunnya kalimat tsb, mereka mengerti
bahwa yang dimaksud adalah terbitnya
fajar. Jadi sejak terbitnya fajar, puasa telah
dimulai.
[3] Pada masa Nabi SAW, ada dua adzan
yang dikumandangkan di pagi buta.
Pertama adzannya Bilal ra. sebelum terbit
fajar, untuk membangunkan mereka yang
tidur, dan untuk mengingatkan mereka
yang telah bangun akan dekatnya fajar.
Karena itu, Nabi memberitahukan kepada
para sahabat, bahwa adzan Bilal tidak
untuk mengumandangkan datangnya
subuh atau terbitnya fajar, dus, tidak
merupakan peringatan mulainya berpuasa.
“Janganlah adzan Bilal melerai sahur
kalian”.
Adzan kedua adalah adzannya Ibnu Ummi
Maktum, yang dikumandangkan saat
terbitnya fajar. Dan ini adalah waktu di
mulainya berpuasa.
[4] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah
gejala alam seperti halnya terbitnya mega
merah di ufuk barat [pertanda waktu
Maghrib], condongnya matahari ke barat
[pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala
alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak
lama sekali telah dapat diketahui melalui
ilmu falak [astronomi], sehingga untuk
mengetahuinya tidak perlu melalui
pengamatan alam secara langsung. Fajar
misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu
kita keluar ke alam bebas, kemudian
mengamatinya dengan mata telanjang,
akan tetapi cukup dengan memanfaatkan
kemajuan di bidang astronomi.
Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan
juga waktu imsak puasa kita, selama ini
secara keseluruhan memakai standar ilmu
falak, bukan melalui pengamatan alam
secara langsung. Dan pada kenyataannya,
penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa
dipertanggungjawabkan ketimbang
pengamatan secara langsung tsb.
[5] Ilmu Falak yang banyak berkembang di
penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”,
atau bersifat perkiraan, belum mampu
menetapkan waktu dengan keakuratan 100
%. Masih terdapat keragu-raguan sekitar
satu hingga dua menitan dari waku
faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan
yang banyak berkembang di negara kita,
terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif
atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur:
sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang
ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena
keakuratannya belum mampu mancapai
100 %, maka dalam penanggalan ditambahi
lima menit. Jadi yang tercatat dalam
penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi
ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula
waktu-waktu salat lainnya, ada
penambahan antara tiga hingga lima menit
dalam catatan di penanggalan.
[6] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit,
maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang
mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya],
menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam
pencatatan di penanggalan. Waktu yang
sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan
untuk menentukan mulainya berpuasa,
maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam
4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu
preventif imsak 10 menit. Kalau waktu
preventifnya adalah lima menit, maka
waktu imsak sebagaimana dalam
penanggalan adalah 4:25.
Dengan menghitung dua waktu preventif
sekaligus, yakni preventif subuh dan
preventif imsak, maka bisa dimengerti
kalau jarak antara waktu imsak dan adzan
subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara
teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu
imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar
shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang
tertulis dalam penanggalan bisa terpaut
antara 10 hingga 15 menit.
Dengan melihat keterangan-keteranan ini,
sebaiknya dalam berimsak mengikuti
penanggalan yang ada. Akan tetapi jika
terpaksa, bisa saja meneruskan makan dan
minum hingga mendekati adzan subuh sekitar 5 menitan.
Demikian, semoga membantu.
0 komentar:
Posting Komentar