Pengikut

Jumat, 27 Juli 2012

Inilah perbedaan Hadits dhoif dengan hadits palsu ( maudhu)

Perbedaan hadits dhoif dengan hadits palsu

Apakah hadits dhaif sama dengan hadits
palsu ?
Jika sama lalu kenapa harus ada klasifikasi
hadits dhaif ?
Hadits palsu sudah pasti bukan berasal dari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
sedangkan hadits dhaif belum pasti bukan
berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam
Namun hadits dhaif tidak dipergunakan
untuk halal dan haram atau untuk
menetapkan perkara wajib (kewajiban) yakni
perkara yang jika ditinggalkan berdosa dan
perkara haram (larangan dan apa yang
diharamkanNya) yakni perkara yang jika
dikerjakan/dilanggar berdosa.
Hadits dhaif digunakan untuk nasehat,
tuntunan akhlak dan anjuran (motivasi)
amal kebaikan selama matan/redaksinya
tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As
sunnah
Habib Munzir Almusawa berkata, “ Maka
tidak sepantasnya kita menggolongkan
semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan
menafikan (menghilangkan) hadits dhaif
karena sebagian hadits dhaif masih diakui
sebagai ucapan Rasul shallallahu alaihi
wasallam, dan tak satu muhaddits pun yang
berani menafikan (menghilangkan)
keseluruhannya, karena menuduh seluruh
hadist dhaif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul
shallallahu alaihi wasallam dan hukumnya
kufur"
Habib Munzir Almusawa, ulama yang sholeh
dari kalangan "orang-orang yang membawa
hadits" dari dua jalur sekaligus yakni
1. melalui dari nasab (silsilah / keturunan),
pengajaran agama yang disampaikan
melalui lisan maupun praktek dari orang
tua-orang tua mereka terdahulu tersambung
kepada lisannya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan
2. melalui sanad ilmu (sanad guru),
pengajaran agama yang didapat dengan
bertalaqqi (mengaji) dengan ulama yang
sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang
empat yakni ulama yang memiliki
ketersambungan sanad ilmu (sanad guru)
kepada Imam Mazhab yang empat atau para
ulama yang memiliki ilmu riwayah dan
dirayah dari Imam Mazhab yang empat yang
bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush
Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Sehingga para ulama yang sholeh dari
kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih
terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian
agama dan akidahnya.
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus
sanad ilmu atau sanad gurunya adalah
pemahaman atau pendapat ulama tersebut
tidak menyelisihi pendapat gurunya dan
guru-gurunya terdahulu atau tidak
menyelisihi pendapat Imam Mazhab yang
empat serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-
Hasani menyampaikan bahwa “ maksud dari
pengijazahan sanad itu adalah agar kamu
menghafazh bukan sekadar untuk
meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani
orang yang kamu mengambil sanad
daripadanya, dan orang yang kamu ambil
sanadnya itu juga meneladani orang yang di
atas di mana dia mengambil sanad
daripadanya dan begitulah seterusnya
hingga berujung kepada kamu meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu
benar-benar sempurna baik secara lafazh,
makna dan pengamalan“
Oleh karenanya terlusurilah apa yang
disampaikan lisannya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam melalui apa yang
disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan
yang setingkat dengannya, sampai ke Al
Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan
yang setingkat dengannya, sampai ke
Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al
Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al
Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian
Al Imam Asseggaf dan orang orang yang
setingkat mereka dan yang diatas mereka,
sampai keguru besar Al Fagih Almugoddam
Muhammad bin Ali Ba’alawi
Syaikhutthorigoh dan orang orang yang
setingkat dengannya, sampai ke Imam Al
Muhajir Ilalloh Ahmad bin Isa dan orang
orang yang setingkat dengannya
Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman),
dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut,
dan keberanian, Imam Ahmad Al Muhajir bin
Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin
Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
beliau berhasil mengajak para pengikut
Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i
dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah
dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam
Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam
Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta
tentang akhlak atau tentang ihsan
mengikuti ulama-ulama tasawuf yang
mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam
Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab
Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i,
terus berkembang sampai sekarang, dan
Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang
“ideal” karena kemutawatiran sanad serta
kemurnian agama dan aqidahnya. Dari
Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al
Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam
sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan
India, kepulauan Melayu dan Indonesia.
Mereka rela berdakwah dengan memainkan
wayang mengenalkan kalimat syahadah ,
mereka berjuang dan berdakwah dengan
kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan,
tanpa pasukan , tetapi mereka datang
dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada
yang ke daerah Afrika seperti Ethopia,
sampai kepulauan Madagaskar. Dalam
berdakwah, mereka tidak pernah bergeser
dari asas keyakinannya yang berdasar Al
Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA) dalam majalah tengah bulanan
“Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11
15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman
37-38 menjelaskan bahwa pengajaran
agama Islam di negeri kita diajarkan
langsung oleh para ulama keturunan cucu
Rasulullah seperti Syarif Hidayatullah atau
yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka
***** awal kutipan ****
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam
mempunyai empat anak-anak lelaki yang
semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai
empat anak wanita. Dari empat anak wanita
ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah
yang memberikan beliau shallallahu alaihi
wasallam dua cucu lelaki dari
perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib.
Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-
Husain dan keturunan dari dua anak ini
disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat.
Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua
anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari
pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian
negeri lainnya memanggil keturunan Al-
Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti
orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf.
Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak
keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu
datang ketanah air kita ini. Sejak dari
semenanjung Tanah Melayu, kepulauan
Indonesia dan Pilipina. Harus diakui banyak
jasa mereka dalam penyebaran Islam
diseluruh Nusantara ini. Diantaranya
Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan
Banten dan Cirebon adalah Syarif
Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh.
Syarif kebungsuan tercatat sebagai
penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang
pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa
Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak
pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri.
Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab,
Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid
Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111
Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis.
Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku
Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun
temurun menyebabkan mereka telah
menjadi anak negeri dimana mereka
berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama.
Mereka datang dari hadramaut dari
keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-
Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri
kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff,
Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh
Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri,
Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin
Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah
keturunan dari Al-Husain dari Hadramaut
(Yaman selatan), ada juga yang keturunan
Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan
syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak
sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil
Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib.
Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-
negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam
dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu
yang bertugas mencatat dan mendaftarkan
keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat
sekarang umum- nya mencapai 36-37-38
silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi
Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
****** akhir kutipan ******
Wassalam
Zon di Jonggol , Kabupaten Bogor 16830


Kamis, 26 Juli 2012

Sifat Al-Mukhalafah Lil Hawaditsi : Allah berbedza dengan Mahluk

SIFAT AL-MUKHALAFAH LIL HAWADITSI:
ALLAH BERBEDA DENGAN MAKHLUK

oleh
Thobary Syadzily

Dalam ilmu aqidah Ahlussunnah wal
Jama'ah, di anatara sifat yang wajib bagi
Allah SWT adalah sifat "Al-Mukhalafah lil
Hawaditsi". Artinya: Allah SWT berbeda
dengan makhluk, baik pada segi dzat-Nya,
sifat-sifat-Nya, maupun pekerjaan-
pekerjaan-Nya, sebagaimana diterangkan
dalam kitab "Tijan ad-Darari" karya Syeikh
Nawawi bin Umar Al-Bantani halaman 9-10,
cettakan "Darul Kutub al-Islamiyyah"
Kalibata Jakarta Selatan, yang artinya
sebagai berikut: Dan wajib bagi hak Allah
ta'ala bersifat Al-Mukhalafah lil Hawaditsi
(berbeda dengan sekalian makhluk). Adapun
berbeda dengan sekalian makhluk adalah
sebuah ungkapan tentang peniadaan
sesuatu yang berkaitan dengan jirim
(bentuk suatu benda, baik benda hidup
maupun benda mati), 'aradh (sifat makhluk),
keseluruhan (universal), bagian-bagian
(parsial), dan kelaziman-kelazimannya
(ketetapan-ketetapan yang tidak terlepas
darinya) dari Dzat Allah SWT. Kelaziman
kategori 'jirim' adalah menempati suatu
tempat. Kelaziman kategori 'aradh' tetap
pada dzat lain suatu benda. Kelaziman
kategori 'universal' adalah berukuran besar.
Kelaziman kategori 'parsial' adalah
berukuran kecil, dan lain sebagainya.
Adapun artinya sifat "Al-Mukhalafah lil
Hawaditsi" sebagaimana yang telah
diceritakan adalah bahwa Allah ta'ala tidak
sama dengan sekalian makhluk. Olehkarena
itu, apabila setan melontarkan kata-kata di
dalam hatimu, yaitu: Apabila Dia bukan jirim,
bukan 'aradh, bukan universal, dan bukan
parsial, maka apakah hakekat Dia? Jawablah
oleh engkau untuk menyanggah
perkataannya !: Tidak ada yang mengetahui
Allah kecuali Allah sendiri. Tidak ada
sesuatu pun yang dapat menyerupai-Nya.
Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. Dia bukanlah jisim (benda
atau materi) yang bisa digambarkan dan
bukan pula jauhar (benda atau materi
terkecil) yang dapat dibatasi dan
diperkirakan ukurannya. Dia tidak
mempunyai tangan, mata, telinga dan lain
sebagainya dari sifat-sifat sekalian
makhluk. Karena, Dia tidak menyerupai
jisim-jisim (bentu-bentuk suatu benda atau
materi), tidak di dalam ukurannya, tidak bisa
terbagi-bagi, dan jauhar (benda atau materi
terkecil) tidak dapat menempati-Nya. Dia
bukanlah 'Aradh (sifat makhluk), dan
'aradh-aradh tidak dapat menempati-Nya.
Begitupula, Dia tidak menyerupai sesuatu
yang maujud (pada makhluk), dan sesuatu
yang maujud /ada tidak dapat menyerupai-
Nya. Dia tidak bisa dibatas oleh ukuran. Dia
tidak bisa diliputi oleh sudut-sudut tempat
dan arah. Begitupula, Dia tidak bisa
dikelilingi oleh bumi dan langit. Meskipun
demikian, Dia lebih dekat kepada hamba-
Nya daripada urat-urat nadi. Dia Maha
Menyaksikan atas segala sesuatu.
Kedekatan-Nya tidak sama seperti
kedekatan bentuk-bentuk makhluk. Maha
Luhur Allah dari anggapan bahwa Dia
terlingkupi oleh tempat, sebagaimana ke-
Maha Suci-an Dia dari anggapan bahwa Dia
dapat dibatasi oleh zaman. Dia Maha Ada
sebelum zaman dan tempat diciptakan.
Adanya Dia sekarang sebagaimana adanya
Dia dahulu. Lawan dari sifat "Al-Mukhalafah
lil Hawaditsi" adalah Al-Mumatsalah lil
Hawaditsi (menyerupai makhluk). Adapun
dalilnya sifat "Al-Mukhalah lil Hawaditsi
adalah: Seandainya Allah tidak berbeda
dengan makhluk, maka Dia menyerupainya.
Namun, menyerupai makhluk itu adalah
sesuatu yang bathil. Karena, seandainya Dia
menyerupai makhluk, maka Dia bersifat baru
sepertinya halnya makhluk. Karena, semua
ketetapan suatu benda bagi salah satu dua
benda yang sama dapat memberikan
ketetapan bagi benda yang lainnya.
Akantetapi, Dia bersifat baru, itu merupakan
sesuatu yang mustahil.


Rabu, 25 Juli 2012

Dalil - Dalil tentang Tuntunan Dzikir Berjamaah / Bersama - sama

oleh : Ustd. Muchamad Kholilurrohman

Assalaamualikum, Wr, Wb.

Sekedar pembanding, berikut adalah Fatwa Al-Imam Al-Hafidz As-Suyuuti yg berdasarkan Hadist2 Shohih terkait DZIKIR BERJAMA’AH dalam Kitab beliau  AL-HAWI lil FATAWI
Betulkah Dzikir berjama’ah / bersama – sama tidak ada tuntunannya…?
Bahkan membuat Majelis – Majelis dzikir sama sekali tidak ada tuntunannya juga..?
Seorang ‘Ulama Besar Madzab Syafi’I yang bergelar AL-IMAM dan bermukim di Mesir.
Abu Al-Fadl Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin As- Suyuti, menjelaskan dalam Kitabnya berkaitan dengan Dzikir Berjama’ah
Ulama yg dilahirkan kurang lebih 460 tahun yg lalu sebelum Syaikh BIN BAZ dilahirkan.
Apakah ‘Ulama Syaikh Bin Baz lebih Alim & berilmu dari Imam Suyuti…?
Wallahu ‘Alamu Bisshowab.



“Aku bertanya kepadamu (wahai Syaich as-Suyuthi) semoga Allah Ta’aala memuliakanmu, mengenai suatu hal yang umum dilakukan para pemuka shufiyyah yang menyelenggarakan halaqah (perkumpulan / Majelis) dzikr) dan men-jahr-kannya di dalam masjid dan mengeraskan suaranya dengan bacaan tahlil, apakah hal yang demikian ini makruh atau tidak?”
Jawabannya adalah:
“Sesungguhnya hal yang demikian ini tidak dihukumi makruh sama sekali, dan sungguh terdapat banyak riwayat hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara jahr, selain itu terdapat pula hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara sirr (pelan) sehingga perlu dikompromikan kedua cara berdzikir tersebut, yang mana hal tersebut dilaksanakan berbeda-beda menurut keadaan dan masing-masing pribadi. Sebagaimana al-Imaam an-Nawawi mengkompromikan hadits-hadits tentang disunnahkannya membaca Al-Quran secara jahr, dan (hadits-hadits) yang menyebutkan tentang diperbolehkannya membacanya secara sirr, berikut ini akan saya jelaskan secara fasal demi fasal.”
Selanjutnya beliau (al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah) menyebut hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengeraskan suara pada saat dzikir, baik secara shorih (terang) maupun iltizam (tersirat).
1.    Hadits Pertama:
Telah diriwayatkan oleh al-Imaam al-Bukhari rahimahullah, bahwasanya Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam: Alloh Ta’aala berfirman: “Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku di dalam dirinya (Sirr), maka Aku akan mengingat dia pada diri-Ku (Sirr), apabila dia mengingat-Ku dalam jumlah kelompok yang besar, maka Aku akan menyebut nama mereka dalam kelompok yang jauh lebih baik dari kelompok mereka.”
Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain dilaksanakan secara jahr/ keras.”
2.    Hadits Kedua:
Diriwayatkan oleh al-Bazzaar dan al-Hakiim di dalam al-Mustadrak dan menyatakan keshahihannya, bahwasanya Jabir radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah keluar Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada kami, dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Alloh Ta’aala menebarkan para malaikat untuk mendatangi majlis dzikr di bumi, maka masuklah ke dalam taman-taman surga itu. Mereka berkata: Dimanakah taman-taman surga itu? Beliau bersabda:Majlis-majlis dzikr, sebaiknya kalian berdzikir kepada Allah tiap pagi dan petang.
3.    Hadits Ketiga:
Diriwayatkan oleh Muslim dan al-Hakim dengan lafadz dari abu Hurairah: telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat Sayyarah yang mencari majlis dzikir di bumi, maka apabila mereka menemukan majlis dzikir, mereka saling mengelilingi dengan sayap-sayap mereka hingga mencapai langit,  maka Allah berfirman: Dari mana kalian? Mereka menjawab: Kami telah mendatangi hamba-Mu yang bertasbih, bertakbir, bertahmid,  bertahlil, memohon kepada Engkau, meminta perlindungan-Mu. Maka Allah berfirman: Apa yang kalian pinta? (dan Allah-lah yang lebih mengetahui apa-apa tentang mereka), mereka menjawab: Kami memohon Surga kepada Engkau. Allah berfirman: Apakah kalian sudah pernah melihat Surga?. Mereka menjawab: Tidak, Wahai Rabb. Allah berfirman: Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?, kemudian Allah berfirman: Terhadap apa kalian meminta perlindungan-Ku? Sedangkan Allah Maha Mengetahui perihal mereka. Mereka menjawab: (Kami memohon perlindungan-Mu) dari api neraka. Kemudian Allah berfirman: Apakah kalian pernah melihatnya?. Mereka menjawab: Tidak. Selanjutnya Allah berfirman: Bagaimana seandainya kalau mereka pernah melihatnya?. Kemudian Allah berfirman: Saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka, dan Aku perkenankan permintaan mereka, dan Aku beri perlindungan terhadap mereka atas apa-apa yang mereka minta perlindungan-Ku. Mereka berkata: Wahai Rabb kami, sesungguhnya didalamnya (majlis dzikir) terdapat seorang hamba penuh dosa yang duduk didalamnya dan dia bukanlah bagian dari mereka (yang berdzikir), maka Allah berfirman: Dan dia termasuk ke dalam orang-orang yang Aku ampuni, karena kaum itu adalah kaum yang tidak mencelakakan orang-orang yang duduk bersama mereka.
4.    Hadits Keempat
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari abu-Hurairah dan abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhumaa, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: Tidaklah suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengelilinginya dan melimpahkan rahmat, dan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah Ta’aala menyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya.
5.    Hadits Kelima
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari Mu’awiyyah, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam keluar menuju kepada halaqah daripada sahabatnya, kemudian beliau bersabda:“Kenapa kalian duduk-duduk?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir dan memuji Allah Ta’aala.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwasanya Allah Ta’aala membanggakan kalian kepada malaikat.”
6.    Hadits Keenam
Diriwayatkan oleh al-Hakim sekaligus beliau menshohihkannya dan Baihaqi di dalam Sya’b al-Imaan dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam“Perbanyaklah olehmu di dalam berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga mereka (kaum munafiquun) mengatakan bahwa kalian adalah ‘orang gila’.“
7.    Hadits Ketujuh
Berkata al-Baihaqi di dalam Syu’b al-Imaan dari abu al-Jauza’ radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga kaum munafiquun berkata, ‘Kalian gila’.”
Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: Ini hadits mursal, adapun tujuan pendalilan menggunakan hadits ini dan yang sebelumnya lebih ditujukan untuk dzikir jahr, bukan dzikir sirr.
8.    Hadits Kedelapan
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Sahabat Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Apabila kalian menemukan taman-taman surga, maka ramaikanlah ia.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullaah, apakah yang disebut taman surga itu?” Beliau bersabda: “Halaqah / perkumpulan / majelis dzikir.”
 9.    Hadits Kesembilan
Diriwayatkan oleh Baqi bin Makhlad, dari ‘Abdullah ibn Umar radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati dua majelis, salah satu dari majelis menyeru dan mengagungkan Allah Ta’aala. Dan majelis yang satunya mengajarkan ilmu. Kemudian beliau bersabda: “Kedua-duanya baik, akan tetapi salah satunya lebih utama (daripada majelis yang satunya).”

 10.    Hadits Kesepuluh
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari ‘Abdullaah ibn Mughaffal berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Tiada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada AllahTa’aala kecuali mereka akan dipanggil oleh para pemanggil dari langit: ‘Bangunlah kalian, sesungguhnya kalian sudah diampuni, sungguh keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan-kebaikan’.”
 11.    Hadits Kesebelas
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Berfirman Allah Ta’aala pada hari Qiyamah: ‘Orang-orang yang dikumpulkan pada hari ini akan mengetahui siapa saja yang termasuk orang-orang mulia’. Para sahabat bertanya: ’Siapakah yang termasuk orang-orang mulia tersebut Wahai Rasulullaah?’. Beliau bersabda: ‘Majelis-majelis dzikir di masjid’. ”
 12.    Hadits Keduabelas
Diriwiyatkan oleh al-Baihaqi dari ibnu Mas’ud radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya gunung memanggil gunung lainnya dengan namanya dan bertanya: ‘Wahai fulan, apakah kamu hari ini sudah dilewati orang yang berzikir kepada Allah?’ Yang apabila dijawab: ‘Ya’ mereka akan merasa sangat gembira. Kemudian Abdullah membaca ayat: ‘(Perkataan gunung) Sungguh-sungguh kalian telah mendatangkan ‘idda (kemunkaran yang sangat besar), sehingga hampir-hampir langit pecah berkeping-keping.’ Beliau berkomentar: ‘Apakah mereka (gunung-gunung) hanya mendengar kemunkaran, dan tidak mendengar kebaikan?’”
 13.    Hadits Ketigabelas
Diriwayatkan oleh ibn Jarir di dalam kitab tafsirnya, dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu mengenai firman Allah Ta’aala: “Maka tidaklah langit dan bumi menangis atas mereka”. Bersabda Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Bahwasanya apabila seorang mukmin wafat, menangislah bumi tempat dia sholat dan berdzikir kepada Allah.” Diriwayatkan pula oleh ibn Abi ad-Dunya dari Abu Ubaid berkata: “Sesungguhnya apabila seorang mukmin wafat, maka berserulah bongkahan bumi: ‘Hamba Allah ‘ta’aala yang mukmin telah wafat!’, maka menangislah atasnya bumi dan langit, kemudian ar-Rahmaan berfirman: ‘Mengapa kalian menangisi hamba-Ku?’. Mereka berkata: ‘Wahai Rabb kami, tidaklah dia berjalan di suatu daerah kami melainkan ia berdzikir kepada-Mu ’  ”
Tujuan pendalilan menggunakan hadits ini adalah: “Dengarnya gunung dan bumi akan dzikir tidak lain dikarenakan dzikir tersebut di-jahr-kan”
14.    Hadits Keempatbelas
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan al-Baihaqi dengan sanad Shohih dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Allah Ta’aala berfirman:“Wahai hamba-Ku apabila engkau berdzikir kepada-Ku di dalam kesunyian, maka Aku akan mengingatmu di dalam kesunyian pula, dan apabila engkau berdzikir kepada-Ku dalam kelompok yang banyak, maka Akupun akan mengingatmu di dalam kelompok yang jauh lebih baik dan lebih besar”
 15.    Hadits Kelimabelas
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Zaid ibn Aslam berkata: Berkata ibn Adra’: “Pada suatu malam aku pergi bersama Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam, kemudian beliau melewati seorang lelaki di dalam masjid sedang mengangkat suaranya tinggi-tinggi. Aku (ibn Adra’) berkata: ‘Wahai Rasulullaah, barangkali lelaki ini sedang Riya’ (memamerkan ibadahnya)?’ Beliau bersabda: ‘Bukan, dia sedang berdo’a dan mengadu’”. Al-Baihaqi meriwayatkan pula dari ‘Uqbah ibn ‘Amir: Bahwasanya Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepada seorang lelaki bernama Dzul Bajadain: “Sesungguhnya dia banyak berdo’a dan mengadu, itu semua karena dia selalu berdzikir kepada Allah Ta’aala”. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Jabir ibn ‘Abdullah bahwasanya ada seorang lelaki yang meninggikan suaranya ketika berdzikirsehingga lelaki yang lainnya berkata, “Seandainya saja orang ini merendahkan suaranya.” Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Biarkanlah dia, sesungguhnya dia sedang berdoa dan mengadu.”
 16.    Hadits Keenambelas
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Syaddad ibn Aus berkata: “Sesungguhnya kami sedang bersama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam pada saat beliau bersabda: ‘Angkatlah tangan kalian dan ucapkanlah  LA ILA HA ILLAH’, maka kami melaksanakan perintah beliau”. Kemudian beliau bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau utus aku karena kalimah ini, Engkau perintahkan aku juga karenanya, Engkau janjikan aku surga juga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda kepada para sahabat: “Bergembiralah kalian, karena Allah sudah mengampuni kalian semua.”
17.    Hadits Ketujuhbelas
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Anas radhiyallaah ‘anhu dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam:“Sesungguhnya Allah Ta’aala memiliki Malaikat Sayyarah yang mencari halaqah-halaqah (perkumpulan)  dzikir. Dan apabila mereka menemukannya maka mereka mengelilingi tempat-tempat tersebut. Kemudian Allah Ta’aala berfirman: “Naungi mereka dengan rahmat-Ku, mereka adalah orang-orang yang duduk yang tidak mencelakakan pendatang yang ikut duduk bersama mereka.”
 18.    Hadits Kedelapanbelas
Diriwayatkan oleh at-Thabrani dan ibn Jarir, dari Abdurrahman ibn Sahl ibn Hanif berkata: “Saat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berada di salah satu rumahnya, diturunkanlah ayat: “Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi hari dan petang hari.” (Ayat). Kemudian beliau keluar kepada sahabat dan mendapati mereka sedang berdzikir,diantara mereka ada yang sudah beruban, kusam kulit dan hanya memiliki satu pakaian. Melihat mereka, Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam duduk bersama mereka dan bersabda: “Segala puji bagi Allah Ta’aala yang telah menjadikan diantara kalangan ummatku orang-orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”
 19.    Hadits Kesembilanbelas
Diriwayatkan oleh al-Imaam Ahmad di dalam az-Zuhd dari Tsabit berkata: “Salman berada di dalam sebuah kelompok yang berdzikir kepada Allah Ta’aala, kemudian Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati mereka sehingga menyebabkan mereka berhenti, kemudian beliau bersabda: “Apa yang kalian ucapkan?”. Jawab kami: “Kami berdzikir kepada Allah Ta’aala.”Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya aku melihat rahmat turun atas kalian, aku menginginkan bersama-sama kalian di dalam rahmat tadi.” Selanjutnya beliau bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara ummatku orang-orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”
 20.    Hadits Keduapuluh
Diriwayatkan oleh al-Ishbahani di dalam at-Targhiib, dari Abu Razin al-Aqili, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepadanya: “Maukah engkau aku tunjukkan rajanya perkara yang dengannya engkau dapat meraih kebaikan dunia dan akhirat?”, dia menjawab: “Mau, wahai Rasulullaah.” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau sering-seringmendatangi majelis-majelis dzikir, dan apabila engkau sedang dalam keadaan sendirian, maka gerakkanlah lisanmu untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala.”
 21.    Hadits Keduapuluh satu
Diriwayatkan oleh ibn Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, dan al-Ishbahani dari Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat shubuh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang disinari matahari. Dan sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat ‘ashar hingga terbenamnya matahari, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”
 22.    Hadits Keduapuluh Dua
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir setelah orang-orang menyelesaikan sholat wajib sudah atas persetujuan dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam”. Berkata pula ibn ‘Abbas: “Sesungguhnya aku selalu mengetahui apabila mereka telah menyelesaikan sholat, kemudian terdengar mereka berdzikir.”
 23.    Hadits Keduapuluh Tiga
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallaah ‘anhu bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk ke dalam pasar kemudian mengucap:
Maka Allah Ta’aala akan menetapkan baginya sejuta kebaikan dan menghapus sejuta keburukan, dan menaikkan derajatnya dengan sejuta derajat dan dibuatkan rumah di Surga.”
Di dalam beberapa thuruq (jalur mata rantai periwayatan) di hadits ini tertulis “ فنادى ”
Artinya: “Menyeru.”
24.    Hadits Keduapuluh Empat
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dan beliau menyatakan shohih, dan an-Nasa’i serta ibn Majah, dari Sa’ib bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Jibril ‘alahissalaam mendatangiku dan berkata: ‘Perintahkan para sahabatmu untuk mengeraskan suara mereka di dalam bertakbir.’”
 25.    Hadits Keduapuluh Lima
Diriwayatkan oleh al-Maruwzi di dalam kitab al-‘Iidain dari Mujahid, bahwasanya ‘Abdullah ibn ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhuma mendatangi pasar pada hari-hari sepuluh (dzulhijjah) maka keduanya bertakbir. Tidaklah mereka mendatangi pasar kecuali untuk bertakbir. Dan diriwayatkan pula oleh ‘Ubaid ibn ‘Umair berkata: Sesungguhnya ‘Umar selalu bertakbir di dalam qubbahnya, sehingga seisi masjid juga bertakbir, dan juga seisi pasar juga bertakbir, sehingga seluruh Mina bergemuruh suara takbir. Dan diriwayatkan pula dari Maimun ibn Mahran berkata: Aku dapati manusia mengumandangkan takbir di hari ke sepuluh (dzulhijjah)  sehingga aku memisalkannya seperti gelombang lautan dikarenakan begitu banyaknya.

Tambahan Hadist tentang Keutamaan Majelis Dzikir dari
KITAB SHOHIH MUSLIM,
Bab Keutamaan Majelis Dzikir, Hal : 1444

Dalil-dalil waktu sahur dan Hukum Imsak

Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak

1. Firman Allah:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya.


Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat- Nya kepada manusia, supaya mereka
bertaqwa”. (QS. 2:187).2. HR. Bukhari:Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “diturunkan
oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlahhingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam” dan belum diturnkankalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka
masyarakat kalau ingin melaksanakanpuasa, salah satu diantara mereka
mengaitkan benang putih dan benanghitam, dan mereka meneruskan makan
hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu
Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu
fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang
dimaksud adalah malam dan siang.3. HR.
Turmudzi:Dari Samurah bin Jundub ra, ia
mengatakan: RasululLah SAW mengatakan:
Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian,
dan juga fajar yang memanjang, akan
tetapi [yang melerai adalah] fajar yang
menyebar di ufuk.4. HR. Bukhari:Dari
Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, ia
mengatakan: Janganlah adzan Bilal
mencegah salah satu di antara kalian dari
makan sahurnya , karena ia
mengumandangkan adzan di tengah
malam, untuk mengingatkan di antara
kalian yang bangun dan untuk
membangunkan di antara kalian yang
tidur.5. HR. Bukhari:
.
Dari ‘Aisyah ra, dari Nabi SAW, ia
mengatakan: “Sesungguhnya Bilal
mengumandangkan adzan di malam hari,
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda : ‘Makan minumlah
kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.
Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah
terbitnya fajar shadiq” [9] (HR. Bukhari no.
1918, 1919)..
6. HR. Bukhary Muslim
diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu
dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah
berkata :
”Kami pernah makan sahur bersama Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian
kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku
(Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara
adzan dan makan sahur? Ia (Zaid)
menjawab : ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ (kira-kira bacaan
lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” (HR.
Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini
adalah lafadh Al-Bukhari).
Berdasarkan hadits No. 5, maka inilah
waktu yang paling tepat untuk berhenti
makan atau sahur yaitu kadar membaca 50
ayat al-quran (dengan tartil dan wajar)
sebelum adzan subuh (pada zaman nabi
adzan ummi maktum).
Jadi pada zaman rasulullah ada dua adzan
yaitu adzan bilal untuk membangunkan
manusia agar shalat tahajud dan sahur,
serta yang kedua adzan ummi maktum
untuk shalat subuh.
Inilah salah satu dasar waktu imsak (waktu
yang meragukan antara malam dengan
fajar sidiq) yang mana seorang muslim
akan berhati-hati atas perkara yang subhat
ini.
Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf
menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah
fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan
talkhish daripada ajaran guru-guru beliau
terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih al-
Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin
Zain BinSmith, pada halaman 444
menyatakan, antara lain:-
ﻭ ﻳﻤﺴﻚ ﻧﺪﺑﺎ ﻋﻦ ﺍﻷﻛﻞ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺑﻨﺤﻮ ﺧﻤﺴﻴﻦ
ﺁﻳﺔ – ﺭﺑﻊ ﺳﺎﻋﺔ
…”Dan imsak daripada makan (yakni
bersahur) itu mandub (disunnatkan)
sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan
50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15
minit)”. Yakni seseorang itu disunnatkan
melakukan imsak sebelum fajar kira-kira 15
minit atau kadar pembacaan 50 ayat yang
sederhana dengan kelajuan yang
sederhana. Inilah yang dimaksudkan oleh
ulama kita sebagai waktu imsak yang
disunnatkan sebagai langkah berhati-hati
dan mengikut sunnah Junjungan Nabi
s.a.w. Sedangkan imsak setelah masuk
fajar adalah wajib. Oleh itu seseorang
masih boleh makan-minum selepas waktu
imsak tadi selagi mana waktu Subuh
belum masuk kerana imsak pada waktu itu
dihukumkan sunnat. Tidaklah benar
dakwaan yang dibuat oleh Hafiz Firdaus &
the gang yang menyatakan bahawa
menetapkan waktu imsak beberapa minit
sebelum fajar itu sebagai bid`ah dan tidak
punya dasar dalam Islam. Ukuran minit-
minit tersebut diambil daripada kadar
pembacaan 50 ayat tersebut, yang
merupakan kadar yang dinyatakan dalam
beberapa hadits shohih sebagai senggang
waktu antara sahur Junjungan s.a.w.
dengan masuknya sholat. Antara hadits-
haditsnya ialah yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari berbunyi:-
ﻋَﻦْ ﺃﻧﺲ ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ
ﺗَﺴَﺤَّﺮْﻧﺎَ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻗﺎﻡ
ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ. ﻗﻠﺖ: ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﺫﺍﻥِ ﻭ ﺍﻟﺴُّﺤُﻮْﺭِ؟
ﻗﺎﻝ: ﻗَﺪْﺭُ ﺧَﻤْﺴِﻴْﻦَ ﺁﻳﺔً
Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan
bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a.
berkata: “Kami telah makan sahur
bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w.,
kemudian baginda bangun mengerjakan
sembahyang. Sayyidina Anas bertanya
kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya
antara azan (Subuh) dengan masa makan
sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira
sekadar membaca 50 ayat.”
Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau
senggang masa antara bersahurnya
Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah
kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak
membawa makna yang Junjungan s.a.w.
makan sahur sehingga berkumandang
azan Subuh, yang jelas ialah ia
menyatakan bahawa Junjungan bersahur
dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50
ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah
yang difahami oleh para ulama kita
sehingga menetapkan kesunnahan
berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat
tersebut yang dianggarkan pada kadar 10
– 15 minit. Senggang masa antara sahur
dan masuk fajar (azan subuh) yang
dinamakan sebagai waktu imsak yang
dihukumkan sunnat imsak (menahan diri
daripada perkara membatalkan puasa),
diperjelaskan lagi dalam sepotong hadits
yang juga riwayat Imam al-Bukhari
berbunyi:-
ﻋَﻦْ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺗَﺴَﺤَّﺮَﺍ، ﻓﻠﻤﺎ ﻓﺮﻏﺎ
ﻣﻦ ﺳﺤﻮﺭﻫﻤﺎ ﻗﺎﻡ ﻧﺒﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ
ﻓﺼﻠﻰ. ﻗﻠﻨﺎ ﻷﻧﺲ: ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﻓﺮﺍﻏﻬﻤﺎ ﻣﻦ
ﺳﺤﻮﺭﻫﻤﺎ ﻭ ﺩﺧﻮﻟﻬﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ؟
ﻗﺎﻝ: ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﻘﺮﺃ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺧَﻤْﺴِﻴْﻦَ ﺁﻳﺔً
Daripada Sayyidina Anas bin Malik r.a.
bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersahur
bersama-sama dengan Sayyidina Zaid bin
Tsabit. Apabila kedua mereka selesai
daripada sahur mereka, baginda bangun
mendirikan sembahyang. Kami bertanya
kepada Anas: “Berapa lamakah masa
(senggang waktu) di antara selesai mereka
berdua daripada sahur dan masuk mereka
berdua kepada sembahyang (yakni “berapa
lamakah masa antara selesai Junjungan
dan Zaid bersahur dan masuknya waktu
sholat Subuh”). Dia menjawab: “Sekadar 50
ayat yang dibacakan seseorang.”
7. Mukmin wajib meninggalkan perkara
yang subhat

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻨُّﻌْﻤَﺎﻥِ ﺑْﻦِ ﺑَﺸِﻴْﺮٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ
ﻗَﺎﻝَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ
ﺃُﻣُﻮْﺭٌ ﻣُﺸْﺘَﺒِﻬَﺎﺕٌ ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬُﻦَّ ﻛَﺜِﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻓَﻤَﻦِ
ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻓَﻘَﺪْ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳْﻨِﻪِ ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ
ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ، ﻛَﺎﻟﺮَّﺍﻋِﻲ ﻳَﺮْﻋﻰَ
ﺣَﻮْﻝَ ﺍﻟْﺤِﻤَﻰ ﻳُﻮْﺷِﻚُ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﺗَﻊَ ﻓِﻴْﻪِ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻣَﻠِﻚٍ
ﺣِﻤًﻰ ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﺣِﻤَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺤَﺎﺭِﻣُﻪُ ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَﺤَﺖْ ﺻَﻠَﺢَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻭَﺇِﺫَﺍ
ﻓَﺴَﺪَﺕْ ﻓَﺴَﺪَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﺃَﻻَ ﻭَﻫِﻲَ
ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ ]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir
radhiallahuanhu dia berkata: Saya
mendengar
Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-
perkara yang syubhat (samar-samar) yang
tidak diketahui oleh orang banyak. Maka
siapa yang takut terhadap syubhat berarti
dia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus
dalam perkara syubhat, maka akan
terjerumus dalam perkara yang
diharamkan. Sebagaimana penggembala
yang menggembalakan hewan
gembalaannya disekitar (ladang) yang
dilarang untuk memasukinya, maka lambat
laun dia akan memasukinya. Ketahuilah
bahwa setiap raja memiliki larangan dan
larangan Allah adalah apa yang Dia
haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini
terdapat segumpal daging, jika dia baik
maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia
buruk, maka buruklah seluruh tubuh;
ketahuilah bahwa dia adalah hati
“. (Riwayat Bukhori dan
Muslim)
Dari nash-nash di atas, ada beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
[1] Waktu berakhirnya sahur [mulai
berpuasa] adalah terbitnya fajar yang
menyebar di ufuk, yang dalam fikih
disebut sebagai “fajar shadiq”, bukan fajar
yang memanjang vertikal, yang dalam fikih
dinamai “fajar kadzib”.
Fajar kadzib adalah terangnya ufuk secara
vertikal, yang beberapa menit kemudian
diikuti oleh kegelapan kembali. Sementara
fajar shadiq adalah fajar yang semakin
lama semakin terang hingga matahari
terbit.
[2] Sebelum turun kalimat “minal fajr, [yaitu
fajar]“, sebagian sahabat ada yang
mengira, bahwa yang dimaksud dari ayat
di muka adalah terangnya pagi hingga
tampak jelas perbedaan antara benang
putih dan benang hitam. Baru setelah
turunnya kalimat tsb, mereka mengerti
bahwa yang dimaksud adalah terbitnya
fajar. Jadi sejak terbitnya fajar, puasa telah
dimulai.
[3] Pada masa Nabi SAW, ada dua adzan
yang dikumandangkan di pagi buta.
Pertama adzannya Bilal ra. sebelum terbit
fajar, untuk membangunkan mereka yang
tidur, dan untuk mengingatkan mereka
yang telah bangun akan dekatnya fajar.
Karena itu, Nabi memberitahukan kepada
para sahabat, bahwa adzan Bilal tidak
untuk mengumandangkan datangnya
subuh atau terbitnya fajar, dus, tidak
merupakan peringatan mulainya berpuasa.
“Janganlah adzan Bilal melerai sahur
kalian”.
Adzan kedua adalah adzannya Ibnu Ummi
Maktum, yang dikumandangkan saat
terbitnya fajar. Dan ini adalah waktu di
mulainya berpuasa.
[4] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah
gejala alam seperti halnya terbitnya mega
merah di ufuk barat [pertanda waktu
Maghrib], condongnya matahari ke barat
[pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala
alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak
lama sekali telah dapat diketahui melalui
ilmu falak [astronomi], sehingga untuk
mengetahuinya tidak perlu melalui
pengamatan alam secara langsung. Fajar
misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu
kita keluar ke alam bebas, kemudian
mengamatinya dengan mata telanjang,
akan tetapi cukup dengan memanfaatkan
kemajuan di bidang astronomi.
Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan
juga waktu imsak puasa kita, selama ini
secara keseluruhan memakai standar ilmu
falak, bukan melalui pengamatan alam
secara langsung. Dan pada kenyataannya,
penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa
dipertanggungjawabkan ketimbang
pengamatan secara langsung tsb.
[5] Ilmu Falak yang banyak berkembang di
penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”,
atau bersifat perkiraan, belum mampu
menetapkan waktu dengan keakuratan 100
%. Masih terdapat keragu-raguan sekitar
satu hingga dua menitan dari waku
faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan
yang banyak berkembang di negara kita,
terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif
atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur:
sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang
ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena
keakuratannya belum mampu mancapai
100 %, maka dalam penanggalan ditambahi
lima menit. Jadi yang tercatat dalam
penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi
ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula
waktu-waktu salat lainnya, ada
penambahan antara tiga hingga lima menit
dalam catatan di penanggalan.
[6] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit,
maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang
mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya],
menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam
pencatatan di penanggalan. Waktu yang
sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan
untuk menentukan mulainya berpuasa,
maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam
4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu
preventif imsak 10 menit. Kalau waktu
preventifnya adalah lima menit, maka
waktu imsak sebagaimana dalam
penanggalan adalah 4:25.
Dengan menghitung dua waktu preventif
sekaligus, yakni preventif subuh dan
preventif imsak, maka bisa dimengerti
kalau jarak antara waktu imsak dan adzan
subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara
teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu
imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar
shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang
tertulis dalam penanggalan bisa terpaut
antara 10 hingga 15 menit.
Dengan melihat keterangan-keteranan ini,
sebaiknya dalam berimsak mengikuti
penanggalan yang ada. Akan tetapi jika
terpaksa, bisa saja meneruskan makan dan
minum hingga mendekati adzan subuh sekitar 5 menitan.




Demikian, semoga membantu.


Senin, 23 Juli 2012

Tanya - Jawab Seputar Qunut di Detik.com

Salat Membaca Doa Qunut

Alifmagz - detikramadan

Jakarta -

Tanya:
Assalamulaikum wr wb
Saya mau bertanya apabila kita shalat
subuh, kita tidak memakai qunut, tetapi imam kita memakai/membaca qunut.

Bagaimana sikap kita sebaiknya diam saja
atau ikut mengucap mengangkat tangan dan mengucap 'amin'?
Terima kasih,
(Sirin)

Jawab:
Wa’alaikumussalam wr. wb. Innama ju‘ila al-imamu liyu’tamma bihi.
Artinya: seseorang dijadikan imam untuk diikuti.

Demikian kurang lebih sabda
Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Atas dasar hadis itu, seorang makmum yang terbiasa tidak
memakai qunut dalam salat Subuh dan bermakmum kepada imam yang memakai qunut, ia sebaiknya mengikuti imam.
Insya Allah tidak rugi apa-apa. Apalagi berdosa. Begitu sebaliknya, apabila seorang makmum sudah terbiasa
memakai qunut lalu bermakmum kepada
imam yang tidak memakai qunut, ia juga
sebaiknya mengikuti imam rukuk tanpa membaca qunut. Tidak perlu qunut sendiri. Ini semua, di samping karena
memang seorang imam dijadikan untuk
diikuti berdasarkan hadis di atas, juga
demi menjaga persatuan yang lebih
penting daripada melestarikan perbedaan yang tidak pokok seperti itu.

Demikian, wallahu a’lam.


Minggu, 22 Juli 2012

Hakikat Puasa yang Sesungguhnya

Oleh : Ustd. Zon Jonggol

“Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, mendengar seorang wanita
tengah mencaci-maki hamba sahayanya,
padahal ia sedang berpuasa. Nabi
shallallahu alaihi wasallam, segera
memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah
hidangan ini “.

Keruan saja wanita itu menjawab, “Ya
Rasulullah, aku sedang berpuasa”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata
dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu ?”.

Sesungguhnya Allah
menjadikan puasa sebagai penghalang
(hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa
sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa
banyaknya orang yang lapar”. (HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, ingin
mengingatkan kaum Muslim hakikat puasa
yang sebenarnya.
Istilah shaum bersumber dari bahasa Arab
yang artinya, menahan, mengekang atau
mengendalikan (al-imsak).
Secara syariat (fikih), makna puasa adalah
menahan diri dari segala sesuatu yang
dapat membatalkan mulai terbitnya fajar
shubuh hingga terbenamnya matahari yang
disertai dengan niat.
Puasa terdiri dari tiga tingkatan.
Puasa perut, tingkatan paling awal adalah
puasa yang memenuhi syariat, yakni puasa
muslim pada umumnya.
Puasa hawa nafsu, tingkatan selanjutnya
setelah puasa perut, puasa sesauai syariat
yang diikuti dengan menahan hawa nafsu.
“Apabila engkau berpuasa hendaknya
telingamu berpuasa dan juga matamu,
lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap
anggota tubuhmu atau setiap panca
inderamu” (al Hadits).
Puasa qalbu, tingkatan tertinggi setelah
puasa hawa nafsu, puasa yang diikuti
dengan menahan dari segala
kecenderungan yang rendah dan pikiran
yang bersifat duniawi, serta memalingkann
diri dari segala sesuatu selain Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda "Ada tiga orang yang doa mereka
tidak ditolak oleh Allah: Pemimpin yang adil,
orang yang berpuasa sampai ia berbuka,
dan doanya orang yang terzalimi." (HR. Al-
Tirmidi, Ahmad, Ibnu Majah)
Doa yang pasti dikabulkanNya adalah doa
kekasih Allah (wali Allah)
Dalam sebuah hadit qudsi, Allah ta'ala
berfirman “jika Aku sudah mencintainya,
maka Akulah pendengarannya yang ia
jadikan untuk mendengar, dan
pandangannya yang ia jadikan untuk
memandang, dan tangannya yang ia jadikan
untuk memukul, dan kakinya yang
dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia
meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta
perlindungan kepada-KU, pasti Ku-
lindungi” (HR Bukhari 6021)
Artinya keterkabulan doa tergantung
kedekatan dengan Allah ta'ala.
Kaum muslim yang dekat dengan Allah
ta'ala atau yang telah meraih maqom
(derajat) disisiNya adalah yang bertemu dan
bersama Allah sehingga menyaksikan Allah
dengan hatinya (ain bashiroh)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda yang artinya "Bagi orang yang
berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu
kegembiraan ketika berbuka dan
kegembiraan ketika bertemu dengan
Tuhannya” (HR Bukhari).
Orang yang berpuasa yang bertemu dan
bersama Allah ta'ala adalah orang
menjalankan puasa qalbu yakni mereka
yang takut kepada Allah karena mereka
selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa
Jalla atau mereka yang selalu memandang
Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap
akan bersikap atau berbuat sehingga
mencegah dirinya dari melakukan sesuatu
yang dibenciNya , menghindari perbuatan
maksiat, menghindari perbuatan keji dan
mungkar hingga terbentuklah muslim yang
berakhlakul karimah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda, ”Pakailah pakaian yang baru,
hiduplah dengan terpuji (mulia), dan
matilah dalam keadaan mati
syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pahamlah kita kenapa kaum muslim ketika
selesai menjalankan ibadah puasa
Ramadhan kembali dalam keadaan suci
bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju
baru” yakni kemenangan menjaga hawa
nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan
beradab mulia.
Namun umumnya hanya memaknai secara
lahiriah atau tekstual dengan mengenakan
“baju baru” disaat hari raya Idul Fitri.
Akhlak adalah pakaian ruhani. Semakin
akhlaknya tambah bagus, pasti ruhaninya
tambah bersih. Diri yang dapat
mengendalikan hawa nafsu yang dikatakan
“mematikan” diri atau naiknya jiwa
meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat
dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
sehingga dapat “mati syahid” atau
menyaksikan Allah dengan hati (ain
bashiroh).


Sabtu, 21 Juli 2012

Bahaya Hasud di Dunia

Bila seseorang terhalang dari ketulusan dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan pernah merasakan nikmatnya ketaatan selama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah swt. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya dekat dengan Allah, karena dia berhadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya.

Bahaya sifat hasud di Dunia

Adapun bahaya dan akibat yang ditimbulkan oleh sifat hasud sangatlah besar. Dan tidak hanya terbatas di dunia, tetapi juga di akhirat.

Bahaya dan akibat hasud di dunia :

Pertama

Orang yang hasud selalu akan senantiasa berada dalam duka selama hidupnya. Kedua Orang yang hasud tidak akan mempunyai kawan Ketiga Orang yang hasud terhalang dari nikmat ketulusan dan kelapanganh hati Keempat Seseorang yang hasud tidak akan mungkin menjadi da'i yang mengajak kepada jalan menuju Allah swt. Kelima Orang hasud terhalang dari nikmat ketaatan kepada Allah swt. Dikutip dari : Al-kisah

Do'a di hari kedua Ramadhan


ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻗَﺮِّﺑْﻨِﻲْ ﻓِﻴْﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺮْﺿَﺎﺗِﻚَ ﻭَ ﺟَﻨِّﺒْﻨِﻲْ ﻓِﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﺳَﺨَﻄِﻚَ ﻭَ ﻧَﻘِﻤَﺎﺗِﻚَ ﻭَ
ﻭَﻓِّﻘْﻨِﻲْ ﻓِﻴْﻪِ ﻟِﻘِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺁﻳَﺎﺗِﻚَ ﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻚَ ﻳَﺎ ﺃَﺭْﺣَﻢَ ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻤِﻴْﻦَ

O Allah let me come nearer to Thy
benevolence in this month; let me be far off from Thy displeasure and contempt; let me grow used to the recitation of Thy verses (in the Holy Quran), through Thy mercy O the Most Merciful

Ya Allah, dekatkanlah aku di bulan ini
kepada ridha-Mu, hindarkanlah aku dari kemurkaan-Mu, dan anugerahilah aku kemampuan untuk membaca ayat-ayat kitab
Mu dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari semua pengasih


Kamis, 19 Juli 2012

Pemerintah memutuskan sabtu 21 juli sebagai awal Ramadhan

Alhamdulillah, berdasarkan keputusan
sidang itsbat yang dihadiri dan disepakati
oleh mayoritas para ulama yang
berkompetensi dibidang hisab dan rukyat,
pemerintah (Ulil Amri) telah menetapkan
awal puasa Ramadhan 1433H tahun 2012
jatuh pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-
orang yang beriman, ta’atilah Allah dan
ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (QS An
Nisaa [4]:59)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda “Sesungguhnya umatku tidak
akan bersepakat pada kesesatan. Oleh
karena itu, apabila kalian melihat terjadi
perselisihan maka ikutilah as-sawad al
a’zham (pemahaman mayoritas kaum
muslim atau pemahaman jumhur
ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin
Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim.
Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius
Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
“ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﺎ ﻳُﺠْﻤِﻊُ ﺃُﻣَّﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٍ ﻭَﻳَﺪُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﻊَ
ﺍﻟﺠَﻤَﺎﻋَﺔِ ﻭَﻣَﻦْ ﺷَﺬَّ ﺷَﺬَّ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ”
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun
ummatku diatas kesesatan. Dan tangan
Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang
menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke
neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam
Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam
Thabari rahimahullah yang menyatakan:
“Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa
jama’ah adalah as-sawadul a’zham“.
Letak permasalahan mereka yang berbeda
dengan keputusan ulil amri berdasarkan
kesepakatan mayoritas ulama (as-sawadul
a’zham) sehingga menyelisihi sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
adalah mereka yang menggunakan metode
perhitungan (hisab) dengan ketetapan hisab
hakiki wujudul hilal artinya berapapun
derajat positif tinggi hilal maka ditetapkan
hilal sudah wujud.
Sebenarnya tentu boleh menggunakan
metode perhitungan (hisab) agar kita dapat
mengetahui lebih awal namun kita harus
menterjemahkan sunnah Rasulullah
shallallahu alaih wasallam kewajiban
"melihat hilal" kedalam metode perhitungan
(hisab) yang disebut kriteria visibilitas hilal
artinya kritera berapa derajatkah hilal dapat
dikatakan terlihat oleh manusia (imkanur
rukyat).
Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi
hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6
derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam.
Jarak sudut Bulan-Matahari 6,8 derajat,
dekat dengan limit Danjon yang menyatakan
jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia
rata-rata.
Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8
jam ini yang kemudian diadopsi sebagai
kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-
negara Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, dan Singapura) pada tahun 1996.
Bahkan berdasarkan kajian astronomis yang
dilakukan LAPAN terhadap data rukyatul hilal
di Indonesia (1962-1997) yang
didokumentasikan oleh Departemen Agama
RI diperoleh dua kriteria visibilitas hilal (hilal
terlihat) yang rumusannya disederhanakan
sesuai dengan praktik hisab-rukyat di
Indonesia. Awal bulan ditandai dengan
terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah
satu maka dianggap belum masuk tanggal.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah
sebagai berikut.
Pertama, umur hilal minimum 8 jam.
Kedua, tinggi bulan minimum tergantung
beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan
berada lebih dari 6 derajat tinggi
minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila tepat
berada di atas matahari, tinggi minimumnya
8,3 derajat.
Berikut REKAPITULASI
HASIL PERHITUNGAN AWAL RAMADHAN
1433 H / 2012 M
( KAMIS Wage, 19 JULI 2012 M )
MENURUT SISTEM “ IRSYAD AL-MURID /
ﺍﺭﺷﺎﺩ ﺍﻟﻤﺮﻳﺪ ”
AL-HASIB: THOBARY SYADZILY
Sumber:http://www.facebook.com/media/
set/?
set=a.433596743351625.95100.100001039095629
Pusat Observasi Bulan (POB) :
Pelabuhanratu, Sukabumi – Jawa Barat
Lintang Tempat ( Ø ) : 07 o 01 ' 44,6 ''
Lintang Selatan
Bujur Tempat ( λ ) : 106 o 33 ' 27,8 '' Bujur
Timur
Tinggi Tempat ( h ) : 52,685 Meter di atas
Permukaan Laut
1. Ijtima’ / ﺍﺟﺘﻤﺎﻉ / konjungsi / new moon
akhir bulan Sya’ban 1433 H terjadi pada hari
Kamis Wage, 19 Juli 2012 M. pada pukul 11 :
25 : 07 WIB ( Siang Hari )
2. Matahari Terbenam ( ﻏﺮﻭﺏ ﺍﻟﺸﻤﺲ /
Sunset ) pada pukul 17 : 53 : 54 WIB
3. Hilal Terbenam ( ﻏﺮﻭﺏ ﺍﻟﻬﻼﻝ / Moonset )
pada pukul 18 : 01 : 03 WIB
4. Tinggi Hakiki / Geosentris Hilal / ﺍﺭﺗﻔﺎﻉ
ﺍﻟﻬﻼﻝ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﻲ / True or Geocentric Altitude
of Cresceent Moon ) = 1 o 47 ' 29 '' = 1,8 o
( di atas ufuk / above the horizon )
5. Tinggi Lihat / Toposentris Hilal / ﺍﺭﺗﻔﺎﻉ
ﺍﻟﻬﻼﻝ ﺍﻟﻤﺮﺋﻲ / Apparent or Topocentric
Altitude of the Crescent Moon = 1 o 38 ' 51 ''
= 1,6 o ( di atas ufuk / above the horizon )
6. Lama Hilal di atas ufuk ( ﻣﻜﺚ ﺍﻟﻬﻼﻝ ﻓﻮﻕ
ﺍﻷﻓﻖ / Long of the Crescent ) = 0 º 7 ' 9 "
7. Azimuth Matahari ( ﺳﻤﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ / Azimuth
of the Sun ) = 290 o 45 ' 11 '' = 290,8 o
8. Azimuth Hilal ( ﺳﻤﺖ ﺍﻟﻬﻼﻝ / Azimuth of
the Crescent Moon ) = 286o 02' 16'' = 286,04
o
9. Posisi Hilal = 04 o 42 ' 55 '' atau 2,7 o di
sebelah Selatan Matahari terbenam dalam
keaadaan miring ke Utara sebesar 70 o 44 '
27 '' atau 70,7 o
10. Lebar Nurul Hilal ( ﺳﻤﻚ ﺍﻟﻬﻼﻝ / Crescent
Width ) = 00 o 00 ' 3,6 '' = 0,06 Menit
11. Cahaya Hilal ( ﻧﻮﺭ ﺍﻟﻬﻼﻝ / Fraction of
Illumination of the Crescent Moon ) = 0.18 %
12. Umur Bulan ( ﻋﻤﺮﺍﻟﻘﻤﺮ / Age of the
Crescet Moon ) = 0 hari 6 jam 28 menit 47
detik
13. Elongasi = 04 o 51 ' 37 '' atau 4,9 o
14. Magnitude ( ﻗﺪﺭ ﺍﻟﻨﻮﺭ / A Measure of
Brightness of the Crescent Moon ) = -4,41
15. Jarak antara Bumi dan Matahari =
152020759 Km
16. Jarak antara Bumi dan Bulan = 391206,10
Km
17. Berdasarkan Ilmu Astronomi, Tinggi
Lihat Toposentris Hilal tersebut di atas
sebesar 1 o 38' 51 '' atau 1,6 o tidak
mungkin untuk dilihat atau dirukyat,
sehingga belum memenuhi kriteria “ Imkan
ar-Ru’yat “. Dengan demikian : Awal
Ramadhan 1433 H jatuh pada hari Sabtu Legi, tanggal 21 Juli 2012 M.


Keutamaan Bulan Ramadhan

Rasulullah Saw bersabda mengenai
keutamaan bulan Ramadlan,
"Bulan Ramadlan hingga Ramadlan, hari
jum’at hingga jum’at dan shalat yang satu hingga shalat yang lain adalah menghapus dosa-dosa di antara semua itu apabila dosa-dosa besar di jauhi."


Sabtu, 14 Juli 2012

Ini adalah Sebuah Gereja Untuk Semua Agama

Ini adalah sebuah gereja untuk semua
agama, gereja ini tidak menutup pintunya.

Bukalah terus pintu kalian, siapapun yang ingin memasukinya, biarkan ia masuk.

Berikan senyum kepada semua orang. Ada sebuah ucapan dari Nabi (s) bahwa jika kalian memberi senyum kepada saudara-
saudari kalian, seolah-olah kalian telah memberi sedekah. Ketika kalian serius atau marah dan kalian begitu terkontaminasi dengan racun negatif, kalian hanya memperlihatkan kebencian dan perilaku yang buruk.
Semoga Tuhan kita mengampuni kita dan memberkati kita dengan mengucapkan asyhadu an la ilaha ill 'Llah wa asyhadu anna Muhammadan`abduhu wa rasuuluh...
(dan seterusnya zikir Khatm Khwajagan)

Para hadirin yang mengikuti acara "An
Evening with Sufi Master" di sebuah geraja di New York, mereka berasal dari berbagai agama.



Inilah Amalan - Amalan Baik dalam Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Tidak terasa bulan Sya’ban telah bergulir hampir separuh perjalanan. Itu artinya waktu semakin mendekati bulan Ramadhan. Sudah maklum bagi kita semua keistimewaan bulan Ramadhan. Hal ini bisa terasakan pada kehidupan di sekitar kita.Tidak hanya harga sembako yang
secara perlahan tapi pasti mulai beranjak naik, tetapi juga semangat beribadah semua orang dari anak-anak hingga nenek-nenekpun semakin bertambah.

Bahkan masjid dan mushalla mulai
berbenah diri untuk menyambut, tarawih, tadarrus dan buka bersama.
Lantas apa semua amalan-amalan yang sebaiknya dilakukan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan ini?

Pertama, amalan terpenting itu adalah
amalan hati, yaitu niat menyambut bulan Ramadhan dengan lapang hati (ikhlas) dan gembira.

Karena hal itu dapat menjauhkan
diri dari api nereka. Sebuah hadits yang termaktub dalam Durrotun Nasihin menjelaskan dengan.

ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟَﺴَﺪَﻩُ
ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ

Siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.
Begitu mulianya bulan Ramadhan sehingga untuk menyambutnya saja, Allah telah
menggaransi kita selamat dari api neraka. Oleh karena itu wajar jika para ulama salaf terdahulu selalu mengucapkan doa:
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺑَﺎﺭِﻙْ ﻟَﻨَﺎ ﻓِﻰ ﺭَﺟَﺐَ ﻭَ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ ﻭَ ﺑَﻠِﻐْﻨَﺎ
ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ
"Ya Allah sampaikanlah aku dengan
selamat ke Ramadhan, selamatkan
Ramadhan untukku dan selamatkan aku hingga selesai Ramadhan".
Sampai kepada Ramadhan adalah
kebahagiaan yang luar biasa, karena hanya di bulan itu mereka bisa mendapatkan
nikmat dan karunia Allah yang tidak terkira.

Tidak mengherankan jika kemudian Nabi saw dan para sahabat menyambut
Ramadhan dengan senyum dan tahmid, dan melepas kepergian Ramadhan dengan tangis.

Kedua , berziarah ke makam orangtua;

mengirim doa untuk mereka yang oleh
sebagain daerah dikenal dengan istilah kirim dongo poso. Yaitu mengirim doa untuk para leluhur dan sekaligus bertawassul kepada mereka semoga diberi keselamatan dan berkah dalam menjalankan puasa selama sebulan mendatang. Tawassul dalam berdo’a merupakan anjuran dalam islam.

Sebagaimana termaktub dalam Surat al- Maidah ayat 35

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّـﻪَ ﻭَﺍﺑْﺘَﻐُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
ﺍﻟْﻮَﺳِﻴﻠَﺔَ ﻭَﺟَﺎﻫِﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻠِﻪِ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. al-Maidah:
35).
Diriwayatkan pula dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulallah Muhammad s.a.w
ketika menguburkan Fatimah binti Asad, ibu dari sahabat Ali bin Abi Thalib, beliau berdoa :

ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺑٍﺤَﻘٍّﻲْ ﻭَﺣَﻖِّ ﺍﻷﻧْﺒٍﻴَﺎﺀِ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻲْ
ﺍﻏْﻔِﺮْﻷُﻣِّﻲْ ﺑَﻌْﺪَ ﺃُﻣِّﻲْ

Artinya : Ya Allah dengan hakku dan hak- hak para nabi sebelumku, Ampunilah dosa ibuku setelah Engkau ampuni ibu kandungku. (H.R Thabrani, Abu Naim, dan al-Haitsami) dan lain-lain.

Ketiga, saling memaafkan.

Mengingat bulan Ramadhan adalah bulan suci, maka tradisi bersucipun menjadi sangat seseuai ketika menghadapi bulan Ramadhan. Baik bersuci secar lahir seperti membersihkan rumah dan pekarangannya dan mengecat kembali mushalla, maupun bersuci secara bathin yang biasanya diterjemahkan dengan saling memaafkan antar sesama umat muslim. Terutama keluarga, tetangga dan kawan-kawan. Hal ini sesuai dengan anjuran Islam dalam al-Baqarah ayat 178;
.
...ﻓَﻤَﻦْ ﻋُﻔِﻲَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓَﺎﺗِّﺒَﺎﻉٌ
ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﺃَﺩَﺍﺀٌ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎﻥٍ ﺫَﻟِﻚَ ﺗَﺨْﻔِﻴﻒٌ
ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻓَﻤَﻦِ ﺍﻋْﺘَﺪَﻯ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻠَﻪُ
ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ

Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (dia) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui
batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.(QS. 2:178)

Menurut sebuah hadis shahih, Nabi
Muhammad saw. Pernah menganjurkan agar siapa yang mempunyai tanggung
jawab terhadap orang lain, baiknya itu
menyangkut kehormatan atau apa saja, segera menyelesaikannya di dunia ini,
sehingga tanggung jawab itu menjadi
bebas (bisa dengan menebus, bisa dengan meminta halal, atau meminta maaf).

Sebab nanti di akherat sudah tidak ada lagi uang untuk tebus menebus. Orang yang mempunyai tanggungan dan belum meminta halal ketika dunia, kelak akan diperhitungkan dengan amalnya:

apabila dia punya amal saleh, dari amal salehnya itulah tanggungannya akan ditebus; bila tidak memiliki, maka dosa atas orang yang disalahinya akan ditimpakan kepadanya, dengan ukuran tanggungannya. (Lihat
misalnya, jawahir al-Bukhori, hlm. 275, hadis nomer: 353 dan shahih Muslim, II/430).

Dengan kata lain, jika seseorang ingin
bebas dari kesalahan sesama manusia, hendaklah meminta maaf kepada yang bersangkutan. Begitu pula jika seseorang menginginkan kesucian diri guna menyambut bulan yang suci maka
hendaklah saling memafkan.

Dikutip Dari situs ASWAJA ( ahlusunah waljamaah) => NU