KH Ihya’ Ulumiddin
Pada dini hari Jum’at, tanggal 15 Romadhon tahun 1425 hijriyyah yang lalu, seorang ulama besar, guru kita dan panutan kaum muslimin wafat. Innaa Lillah wa Innaa ilaihi roji’uun. Berkaitan dengan wafatnya seorang alim, Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيْـبَةٌ لاَ تُجْبَرُ وَثُلْـمَةٌ لاَ تُسَدُّ وَهُوَ نَجْمٌ طُمِسَ مَوْتُ
قَبِـيْلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“ Meninggalnya seorang alim adalah malapetaka yang tidak bisa dipulihkan dan merupakan kecacatan yang tidak bisa ditambal. Meninggalnya seorang alim tak ubahnya bintang yang pudar sinarnya. Meninggalnya satu kelompok manusia jauh lebih ringan dibanding meninggalnya satu orang alim. “ ( HR Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al Baihaqi dari sahabat Abu Darda’ ra. / al Matjarur Rabih, al Hafizh ad – Dimyathi, hal – 17 )
Sahabat Ali bin Abi Tholib Karromallohu Wajhahu menegaskan pernyataan Baginda Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam . tersebut dan berkata:
إِذَا مَاتَ الْعَالِمُ انْثَلَمَتْ فِى اْلإِسْلاَمِ ثُلْمَةٌ لاَ يَسُدُّهَا شَيْءٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“ Jika seorang alim meninggal maka terjadilah kecacatan dalam Islam yang tidak bisa ditambal oleh apapun hingga hari kiamat “ ( HR al Khathib di kitab al Jami’ / Ushulut Tarbiyah an – Nabawiyyah, Abuya as – Sayyid Muhammad bin Alawi al – Maliki al Hasani , hal 22 )
Dalam kesempatan ini kita menulis dan membaca bukan dalam rangka meratapi wafat Beliau, karena setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, tapi kita menulis dan membaca dalam rangka mengenang, mengingat dan menuturkan kebaikan – kebaikan al Faqid ( yang telah hilang dari kita ) sebagai seorang ulama salaf besar dan mutsaqof ( terdidik ). rohimallohu wa qoddasa sirrohu. Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:
أُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِئِهِمْ
“ Tuturkanlah kebaikan – kebaikan orang – orang kalian yang sudah wafat, dan tahanlah diri kalian dari menuturkan keburukan – keburukan mereka “ ( HR Abu Dawud, al - Hakim dan al - Baihaqi dari sahabat Abdulloh bin Umar ra. Shahih / lihat Faidhul Qadir, Syarah al Jami’ as Shaghir. Al Munawi : 1 / 457 )
Menuturkan hasanat ( kebaikan – kebaikan ) Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani secara lengkap rasanya kita tidak mampu, apalagi di lembaran tulisan yang amat singkat ini, karena tak terhitungnya kebaikan – kebaikan itu. Beliau ibaratnya adalah “Khazanah majami’ul khoir “ ( gudang segala kebaikan ). Pertama, beliau adalah min ahlil bait ( keturunan baginda Rosululloh shollallohu alaihi wasallam ). Beliau adalah pakar di berbagai bidang keilmuan islam. Beliau adalah seorang yang masuk dalam kategori “ basthotan fil ilmi wal jismi “ ( perkasa dalam ilmu dan fisik ). Berdomisili di tanah haram yang tak lepas dari minum air zam – zam. Ayah Beliau, Sayyid Alawi al Maliki, yang menjadi guru di madrasah al Falah dan Masjidil Haram selama kurang lebih 30 tahun, adalah guru Beliau yang pertama dan yang utama, yang mengajarnya sendiri secara khusus. Kakek Beliau, Sayyid Abbas al Maliki adalah mufti dan qodhi di Makkah serta imam dan khathib tanah suci Makkah, yang menjabat sebagai imam dan khathib tersebut pada masa khilafah Utsmaniyyah dan tetap menjabatnya hingga kerajaan Saudi Arabia berdiri.
Abuya as – Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani adalah seorang yang kaya raya yang dermawan dengan kekayaannya, sekaligus dermawan dalam ilmu dan waktunya. Beliau produktif menelorkan tulisan – tulisan yang mencapai hampir 100 buku. Beliau memiliki sanad – sanad keilmuan yang tinggi ( sanad ali ). Beliau da’i kaliber internasional. Beliau dijunjung tinggi dan disegani alim ulama di Makkah dan di seluruh penjuru dunia. Beliau memiliki mulazim ( pengikut setia ) dan banyak tersebar di berbagai negeri. Dan kebaikan – kebaikan Beliau lainnya tidak bisa disebutkan. Sebuah keunggulan yang lengkap dan langka, bifadhlillahi ta’ala.
Pada kesempatan kali ini kita mudah - mudahan bisa menuturkan kebaikan Beliau kaitannya dengan kepeloporan dan keterdepanan dalam mempertahankan dan menyebar – luaskan paham ahlus Sunnah wal Jama’ah di abad 21 ini. Beliau, Abuya as Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani, adalah seorang murobbi yang robbani. Cukuplah untuk membuktikan hal itu pengalaman masing – masing ( para murid dan santri Beliau ) selama di Makkah al Mukarromah ketika bergaul bersama Beliau. Abuya mentarbiyah kita ( para santri ) secara total mulai aspek aqliyyah, ruhiyyah / khuluqiyyah, hingga aspek jasmaniyyah, yang dalam bahasa lain adalah aspek kogntif, afektif, dan aspek psikomotorik. Abuya menempa kita dari masalah – masalah kecil / remeh hingga masalah – masalah besar. Beliau memberikan pemahaman kepada kita sesuai dan pas dengan kemampuan dan kejiwaan kita.
Saat ta’lim, kita mendapatkan kesempatan untuk didengarkan bacaan kita. Ikatan ruhiyyah selalu terjalin. Saat ta’lim itu kita tahu betapa dalam dan luas keilmuan Beliau. Alangkah bergairahnya Beliau mengajar. Saat menjelaskan hal – hal berat, jadi terasa ringan karena di selingi humor. Di saat duduk – duduk bersama santai, Abuya memaparkan situasi kondisi masyarakat dan Beliau menelaahnya dari berbagai aspek dan sudut pandang. Tanpa terasa, banyak hal baru yang kita dapatkan. Wawasan semakin bertambah luas. Kita justru banyak mendapatkan ilmu dari kegiatan non – formal seperti ini, berkah dari ber- mujalasah ( duduk bersama ) dengan Beliau.
Abuya banyak mencotohkan sesuatu dengan tindakan nyata. Kedisiplinan, misalnya, tidak sekedar perintah, namun Beliaulah orang pertama yang melakukan. Dalam melatih kesabaran, Beliua tidak memberikan banyak retorika. Cukup, satu contoh, kita semua disuruh menunggu waktu sholat dengan duduk satu jam sebelum adzan, sembari membaca wirid. Terkadang rentang waktunya lebih lama lagi.
Kita dilatih peka terhadap lingkungan, sekatan, serta di-didik menjadi pribadi yang tidak malas. Kebersihan, keindahan dan kerapian adalah hal yang tak lepas dari perhatian Beliau. Kita tidak diperkenankan berpakaian asal – asalan. Kita dituntut tampil indah, segar, dan rapi. Hal ini mengingatkan kita pada biogarafi Imam Malik bin Anas ra dan Imam Ibnu Hajar al – Asqalani yang selalu tampil indah dan bersih, lahir maupun batin.
Dari segi ruhiyyah, kita dibina untuk selalu mengingat Alloh, dengan banyak berdzikir baik lisan maupun hati. Begitu juga sholawat, tak bosan – bosannya Beliau mengingatkan kita, karena sesungguhnya dzikir dan sholawat itulah suplemen bagi jiwa kita, sumber ketenangan.
Beliau memperlakukan kita tak ubahnya sebagai anak – anak Beliau sendiri. Penuh dengan mahabbah dan kasih sayang. Beliau memperlakukan kita sebagai seorang sahabat akrab, dekat dan tak ada jarak. Inilah yang dalam prinsip pendidikan modern dikenal dengan istilah shuhbah atau sistem pendidikan “ liberal “, yakni sistem pendidikan yang bebas tapi bertanggung jawab.
Kerobbanian Beliau dalam mentarbiyah juga tampak dari kenyataan bahwa masing – masing di antara murid merasa paling dicintai oleh Beliau. Satu hal yang menjadi tujuan besar Beliau dari tarbiyah model di atas adalah takwinur rijaal, yaitu membentuk kader; membangun manusia yang siap dan mampu terjun berjuang di bidang pendidikan dan dakwah. Dan alhamdulillah, alumni – alumni Beliau betul – betul tumbuh menjadi rijal – rijal tarbiyah dan dakwah di negerinya sendiri seperti Yaman, Mesir, Dubai, Indonesia, Malaysia, dan negeri – negeri yang lain. Puluhan pesantren di Indonesia, misalnya, berada di bawah isyrof ( pengawasan dan bimbingan ) Beliau.
Suatu anugerah yang besar bila kita memiliki figur murobbi seperti Beliau. Suatu keberkahan bila kita pernah berada dalam tempaan Beliau. Suatu kebahagiaan bila kita pernah bergaul bersama Beliau.
إِنَّهُ وَصَلَ وَأَوْصَلَ
“Sungguh Beliau telah sampai ( kepada Alloh ) dan menyampaikan ( membawa orang sampai kepada Alloh )“
Jika para pengikut Imam Bukhori mengatakan:
لَوْلاَ الْبُخَارِى مَا رَاحَ مُسْلِمٌ وَلاَ جَاءَ
Seandainya tanpa Imam al Bukhori, Imam Muslim tidak akan berangkat dan tidak akan hadir
Maka, kepada Abuya Sayyidana al Walid, kita katakan:
لَوْلاَ أَبُوْيَ مَا رُحْـنَا وَلاَ جِئْـنَا
Seandainya tanpa Abuya, kita semua tidak akan berangkat dan tidak akan hadir
لَوْلاَ أَنْتَ يَا أَبُوْيَ مَا اهْتَدَيْـنَا
Seandainya tanpa engkau, wahai Abuya, niscaya kita semua tidak memperoleh petunjuk
Maka semoga Alloh memberikan balasan sebaik – baik balasanNya kepada para hamba yang saleh. Engkau memiliki anugerah atas kami yang tidak bisa dipungkiri. Sungguh Alloh sebaik – baik para saksi.
Beliau telah menempa kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Alhamdulillah. Dan lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membalasnya? Rasanya kita tidak mungkin bisa membalas jasa besar ini. Namun, ada hal yang barangkali bisa membuat Beliau gembira di alam barzakhnya manakala melihat dan mendengarnya, yaitu bila kita masing – masing ( para santri ) menjadi orang – orang yang siap meneruskan perjuangan Beliau, mampu mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran – pemikiran Beliau, dan tetap menjalin dan menyambung do’a terhadap Beliau selama – lamanya.
Tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah Abad 21
Sebagai ulama besar kaliber internasional, kita menyadari, Beliau bukan saja milik kita, para santrinya, bahkan Beliau bukan saja milik Arab, Indonesia, Malaysia, atau milik negara Islam yang lain. Beliau adalah milik umat Islam sedunia, khususunya yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka semua mengenal atau setidak – tidaknya pernah mendengar. Hal ini bisa dibuktikan dari setiap kunjungan Beliau. Bila Beliau berkunjung ke luar negeri, para pemimpin, ulama, dan masyarakat awam di negeri tersebut menyambut Beliau dengan hangat dan gembira. Seringkali Beliau disambut ratusan ribu orang. Di musim haji, sekian banyak jamaah haji berziarah di kediaman Beliau yang selalu terbuka lebar untuk tamu. Beliau dicintai dan dihormati di seluruh dunia Islam.
Bukti itu semakin nyata saat Beliau wafat. puluhan ribu orang datang berta’ziah di kediaman Beliau. Ratusan ribu orang mengantar jenazah Beliau. Dan jutaan orang muslim di seluruh dunia mensholati ghoib, mendo’akan serta merasakan kehilangan dan duka amat mendalam. Innaa Lillah wa Innaa ilaihi rojiun. Wal Baqo’ Lillah.
Hidup Beliau memang bukan untuk diri sendiri. Beliau hidup untuk ummat dan dunia Islam. Beliau jelajahi Asia, Afrika, Eropa dan Amerika untuk menyeru umat manusia menegakkan kalimat Alloh, mentaati RosulNya dan berakhlak mulia. Hidup Beliau antara mengajar, beribadah, menulis dan berdakwah.
Tahun 1970 Abuya Al Walid mengajar di Universitas Ummul Quro Makkah, dan pada saat yang sama Beliau mendapatkan gelar doktor honoris causa dari al Azhar. Tahun 1971, setelah ayah Beliau wafat, ulama – ulama Makkah mendaulat Beliau untuk menggantikan sang ayah mengajar di tanah haram.
Awal tahun 80 –an Beliau melepas semua posisi itu, dengan dilandasi hati nurani dan akal bijaksana Beliau, karena fitnah yang demikian dahsyat yang dilancarkan ulama – ulama fanatik dari paham Wahabi. Ajaran dan keberadaan Beliau direspon mereka sebagai ancaman bagi ideologi dan otoritas paham Wahabi dengan dalih bid’ah dan syirik. Sejak saat itu, Beliau fokus mengajar di kediaman Beliau di Rushaifah. Namun, intan tetaplah intan di manapun berada. Pengajian Beliau di Rushaifah malam hari selalu dihadiri banyak orang setiap harinya, dan kian waktu kian bertambah.
Ulama – ulama Wahabi menyerang amaliah – amaliah keagamaan seperti dzikir jahri, tawassul, ziarah kubur, dzikral maulid dsb yang dianggap mereka sebagai bid’ah. Dan sasaran serangan itu yang utama adalah Abuya karena Beliaulah sunni yang berada di garis terdepan dalam mempertahankan prinsip – prinsip tasamuh ala Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sekian banyak buku dan artikel ditulis untuk menghantam Beliau. Sekian banyak ceramah dan kaset menghujat Beliau. Dan semua itu diekspos ke seluruh dunia melalui beragam media seperti membagi buku – buku secara gratis pada jamaah haji, internet dll. khususnya diarahkan kepada negeri – negeri yang Beliua mempunyai tempat di hati para penduduknya. Namun, Beliau tidak gentar dengan harus melakukan pembelaan diri, bahkan Alloh – lah yang akhirnya menggerakkan pena – pena penulis yang menerangkan pemikiran – pemikiran Abuya sekaligus pembelaan kepada Beliau. Di antara mereka berasal dari Maroko, Kuwait, Dubai, Yaman, India, dan Tunisia, seperti Dr Said Romdhon al Buthi, tokoh ulama Syiria. Di sinilah tampak keberanian, ketangguhan. Ghairah, sekaligus ketabahan Beliau yang luar biasa.
Seperti prinsip paham Ahlus Sunnah wal Jamaah pada umumnya, Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani berpandangan bahwa masalah yang menjadi pertentangan sesungguhnya adalah masalah yang masih dalam kategori masalah khilafiyyah furu’iyyah di antara para ulama. Namun, oleh sebagian pihak, masalah tersebut dijadikan masalah besar, seakan – akan sebagai aqidah, akibat dari mereka belajar secara doktrinal. Efek dari hal ini adalah ghuluw ( melampaui batas kewajaran ). Karena itu, pandangan Abuya, dalam menggali ilmu haruslah ditempuh jalur tatsqif, yaitu membuka wawasan seluas – luasnya. Ayah Beliau As Sayyid Alawi al Maliki pernah mengatakan:
إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ كُلَّمَا اتَّسَعَ أَفْقَهَ وَتَعَمَّقَ فِى التَّفَـقُّهِ فِى الدِّيْنِ قَلَّ إِنْكَارُهُ فِى كَثِيْرٍ مِنَ الْمَسَائِلِ
وَالْقَضَايَا الْوَاقِعِـيَّةِ ِلأَنَّهَا يَسَعُهَا اخْـتِلاَفُ ذَوِى النَّظَرِ
“ Sesungguhnya orang yang belajar ilmu manakala berpandangan luas, yakni mendalam ilmunya dalam agama, maka sedikitlah keingkarannya terhadap masalah – masalah dan kasus – kasus kekinian, karena masalah itu telah ditampung oleh perbedaan pendapat dari para ulama yang mempunyai pandangan luas “ ( al Ghuluw. Abuya As Sayyid Muhammad / 46 )
Beliau mengkritisi para pembaharu abad 20 yang berupaya memutus umat Islam dari rantai generasi – generasi terdahulu atas nama memurnikan Islam, atas nama salafiyyah, atas nama ahli hadits, atas nama non madzhab, dsb. Beliau berpandangan bahwa mencela para pengikut madzhab, seperti dilakukan paham – paham ekstrim belakangan ini, berarti mencela seluruh umat Islam pada ratusan tahun sebelumnya. Menurut Beliau, itu bukan sikap seorang teman, namun merupakan sikap dan jalan yang ditempuh musuh Islam sekaligus mencari musuh dalam agama Islam dan membuahkan perpecahan. Beliau meyakini bahwa madzhab – madzhab besar yang mengikuti ulama sunni dan sufi ratusan tahun silam merupakan penghubung kita dengan Alqur’an dan as Sunnah.
Beliau mengakui eksistensi madzhab empat dan menyerukannya, tetapi tanpa fanatisme, agar ajaran Islam yang bak samudera tidak menjadi aliran pemikiran yang sempit. Terhadap pendapat orang lain, betapapun Beliau memiliki ilmu luas dan dalam, Beliau amat toleran. Beliau tidak menutup diri. Beliau menerima pendapat lain, bila didapati pendapat itu memiliki dalil yang kuat.
Abuya memiliki dzauq ( perasaan ) yang tinggi terhadap nilai keimanan dan keislaman seseorang. Aspek “ berbaik sangka kepada kaum muslimin “ Beliau amat besar, sehingga tidak mudah dan tidak sembarangan mengkafirkan dan membid’ahkan orang. Beliau meyakini bahwa mayoritas umat Islam ini adalah baik, hanya sedikit saja yang perlu diluruskan akibat fanatisme dan ideologi ekstrim. Abuya memahami bahwa yang diperlukan kaum muslimin dewasa ini adalah kerja- kerja nyata untuk mengangkat derajat kaum muslimin secara spiritual, sosial dan meterial serta bahu membahu memerangi kejahatan dan kemaksiatan, daripada membuang – buang waktu yang berharga untuk bermusuhan dan berdebat mengenai masalah – masalah yang telah disepakati perbedaannya oleh para ulama. Pandangan Beliau yang lurus, moderat, dan toleran ini tentu tumbuh dari sebuah kedalaman ilmu dan keluasan wawasan yang luar biasa. Dan itu semuanya telah Beliau monumenkan dalam puluhan karya tulis Beliau yang bisa dikaji, dibaca, dan disimak siapa saja.
Sementara tumbuhnya fanatisme, ghuluw dan semacamnya banyak diakibatkan oleh tiga hal, yaitu 1. kedangkalan ilmu dan atau belajar tanpa guru 2. bangga diri terhadap pendapat sendiri ( ujub ) 3. kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Dari tiga hal inilah tumbuh takfir ( pengkafiran ), tabdi’ ( pembid’ahan ) dan tadhlil ( penyesatan ) terhadap pihak atau kelompok yang dianggap tidak sama dengan pandangannya.
Abuya menyuruh menghiasi dan memadu ilmu dengan ghairah ( semangat ) yang tinggi. Beliau berharap kader-kadernya menjadi “ alim “ sekaligus “ ghayur “, berilmu sekaligus juga memiliki ghirah yang tinggi. Menurut Beliau:
عِلْمٌ بِلاَ غَيْرَةٍ جَامِدٌ وَغَيْرَةٌ بِلاَ عِلْمٍ لاَ تَصْلُحُ لِلرِّيَاسَةِ
“ilmu tanpa ghirah beku sedang ghirah tanpa ilmu tidak layak menjadi pemimpin “
Di samping itu, Beliau juga menyeru untuk menempuh suluk, yaitu hal – hal yang berkaitan dengan prilaku, jiwa, dan hati, seperti mengamalkan wirid-wirid, berjamaah, qiyamullail, berakhlak luhur, mengajar, berdakwah, bisa hidup lebih bermanfaat bagi orang lain dsb. Tidak sekedar ilmu dan ilmu belaka. Dalam hal ini Beliau memiliki rangkaian sanad yang tinggi dan dekat dengan guru-guru besar tariqat-tariqat terkenal di dunia di samping mempunyai jaringan komunikasi dengan ulama-ulama besar dan dai-dai agung di dunia. Konsistensi Beliau membela paham Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus menerus dan tak kenal lelah itu pada akhirnya mendapatkan hasil. Beberapa tahun menjelang akhir hayat Beliau, tampak buah-buah perjuangan Beliau. Pemikiran dan pandangan Beliau bebas diakses. Beliau diakui sebagai ikon keterbukaan pemikiran di Saudi Arabia yang terkenal konservatif. Hal ini tercermin dari undangan untuk Beliau pada dialog nasional 5 -9 Dzul Qo’dah 1424 H di Makkah al Mukarramah, dengan tema “Al Ghuluw al I’tidal: Ru’yah Manhajiyyah Syamilah” yang diprakarsai oleh putera mahkota kerajaan Saudi saat itu, Pangeran Abdulloh yang sekarang menjadi Raja Saudi. Saat itu Beliau berhasil menyebarkan pemikiran – pemikiran Beliau ke segala penjuru dunia melalui berbagai stasiun televisi. Penguasa Saudi Arabia berubah mendamba figur Beliau yang moderat dan toleran. Beliau bahkan diminta kembali mengajar di kawasan Masjidil Haram. Tetapi keberhasilan itu setelah melalui masa – masa sulit, lebih dari 20 tahun, yaitu antara 1980 – 2000 –an. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.
Demikianlah, betapa besar keterdepanan dan kepeloporan Beliau dalam mempertahankan dan menyebarluaskan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, amat beralasan bila Beliau disebut - sebut sebagai tokoh Ahlus Sunnah wal Jamaah abad 21 ini. Mereka yang berseberangan pemikiran dan mabda’ ( prinsip ) dengan Beliau pun mengakuinya dengan suka atau terpaksa.
شَهِدَ اْلأَنَامُ بِفَضْلِهِ حَتىَّ الْعِدَا - وَالْفَضْلُ مَا شَهِدَتْ بِهِ اْلأَعْدَاءُ
“ Umat manusia bahkan lawan-lawan bersaksi akan kebesarannya. Dan kebesaran yang mengesankan adalah kebesaran yang diakui oleh para lawan “
Sekali lagi kita katakan, alangkah besarnya jasa – jasa Beliau dan betapa lemahnya kita membalas jasa- jasa besar itu. Tapi, ada hal – hal yang bisa kita lakukan yang barangkali bisa membuat Beliau gembira di pembaringan, yaitu: 1) Kita meneruskan perjuangan Beliau 2) Kita mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Beliau 3) Kita tetap jalin dan sambung do’a kepada Beliau. Dalam syair dikatakan:
فَتَشَبَّهُوْا إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ - إِنَّ التَّـشَبُّهَ بِالْكِرَامِ فَلاَحُ
Jika kamu tidak mampu menjadi seperti mereka maka bertasyabbuhlah ( serupailah mereka ) .Sesungguhnya menyerupai orang – orang mulia itu suatu keberuntungan
Mudah –mudahan Alloh swt. senantiasa melimpahkan keluasan rahmat dan maghfirohNya kepada Beliau, menempatkan Beliau pada derajat yang tinggi di surgaNya bersama al Anbiya, ash shiddiqin, asy syuhada’, dan ash shalihin. Amin. Wahasuna ulaika rofiiqo. Dan semoga Alloh mengembalikan pancaran keberkahan, sirr, dan nur Beliau kepada khalifah Beliau, Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi al Maliki dan pendampingnya Sayyid Abdulloh bin Muhammad bin Alawi al Maliki, serta kepada kita semuanya. Amin ya Rabbal alamin.
SUMBER : dISINI
0 komentar:
Posting Komentar