Pengikut

Senin, 10 September 2012

PENGERTIAN TENTANG ULAMA

PENGERTIAN TENTANG ULAMA
***********************
Secara bahasa, ‘ulama’ berasal dari kata kerja
dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah
menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang
mengetahui – mufrad/singular) dan ‘ulama
(jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan
istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-
Quran dan hadis.
Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah :
‘innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al ulama’
artinya : sesungguhnya yang paling taqwa
kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama
(Fathir 28).
‘Al ulama-u waratsatu al anbiya’ artinya : ulama
adalah pewaris para nabi – hadits.
Secara hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk
kategorisasi, sebab yang mengetahui tingkat
ketaqwaan seseorang hanyalah Allah.
Penyebutan taqwa di sini hanya untuk memberi
batasan bahwa ulama haruslah beriman kepada
Allah dan secara dhahir menunjukkan tanda-
tanda ketaqwaan. Jadi Islamolog yang tidak
beriman kepada Allah tidak masuk dalam
kategori ulama.
Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka
yang mewarisi nabi. Al Maghfurllah Kiyai Ahmad
Siddiq, Situbondo, menyatakan bahwa yang
diwarisi ulama dari nabi adalah ilmu dan
amaliyahnya yang tertera dalam al-Quran dan
hadis.
Dengan batasan ini, ahli-ahli ilmu lain yang tidak
berhubungan dengan al-Quran dan hadis tidak
masuk dalam kategori ulama. Kyai Ahmad
mengistilahkan kelompok ahli itu sebagai
zuama.
Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal
dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki
perbedaan makna yang sangat signifikan.
Perbedaan makna ini dapat ditengarai dalam Al-
Qur’an ketika kata al-’ulama’ disebutkan hanya 2
(dua) kali dan kata al-’alimun sebanyak 5 (lima)
kali, dan kata al-’alim sebanyak 13 (tiga belas)
kali. (lihat al-Baqi, al-Mu’jam, hlm. 603-604).
Penggunaan kata al-’ulama’ dalam Al-Qur’an
selalu saja diawali dengan ajakan untuk
merenung secara mendalam akan esensi dan
eksistensi Tuhan serta ayat-ayat-Nya baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan
perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini adalah
untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal
yang akan terjadi sehingga dapat melahirkan
teori-teori baru. Kata al-’alimun diiringi dengan
usainya suatu peristiwa dan Al-Qur’an menyuruh
mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai
bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak
terulang lagi.
Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur’an
mengajak al-’alimun untuk memikirkan
peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat
terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan
(lihat Q.S. Al-’Ankabut ayat 40-43). Penyebutan
kata al-’alim dalam bentuk tunggal semuanya
mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada
selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi dengan
penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang
ghaib dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan
bahwa munculnya pengetahuan manusia
berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan
Tuhan.
Kyai Muchith Muzadi,- salah seorang ulama dari
NU- membuat kategorisasi ulama atas dasar
ilmu, secara garis besar sebagai berikut:
1. Ulama Ahli Quran ialah ulama yang
menguasai ilmu qiraat, asbabunnuzul, nasih
mansuh dsb. Ulama tafsir adalah bagian dari ini
yang memiliki kemampuan menjelaskan
‘maksud’ Qur’an.
2. Ulama Ahli Hadits yaitu ulama yang
menguasai ilmu hadits, mengenal dan hafal
banyak hadist, mengetahui bobot kesahihannya,
asbabul wurudnya (situasi datangnya hadits)
dsb.
3. Ulama Ahli Ushuluddin ialah ulama yang ahli
dalam aqidah Islam secara luas dan mendalam,
baik dari segi filsafat, logika, dalil aqli dan dalil
naqlinya.
4. Ulama Ahli Tasawuf adalah ulama yang
menguasai pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan akhlaq karimah, lahir dan bathin
serta metodologi pencapaiannya.
5. Ulama Ahli Fiqh adalah ulama yang
memahami hukum Islam, menguasai dalil-2nya,
metodologi penyimpulannya dari Qur’an dan
hadis, serta mengerti pendapat-2 para ahli
lainnya.
6. Ahli-ahli yang lain, i.e., ahli pada berbagai
bidang yang diperlukan sebagai sarana
pembantu untuk dapat memahami Qur’an dan
hadits, seperti ahli bahasa, ahli mantik, ahli
sejarah, dsb. Merujuk pada arti ulama-baik
secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi
ulama menurut Kyai Muchit Muzadi, ternyata
selama ini yang dipahami masyarakat telah
mengalami ‘kecelakaan pemahaman’.
Menurut kebanyakan orang, yang dimaksudkan
sebagai ulama hanyalah orang-orang yang
mumpuni di bidang agama-dalam hal ini meliputi
tafsir, tasawuf, aqidah, muamalah, dan
sejenisnya bahkan ada yang menambahkan
ulama dalaha orang ahli agama yang memilki
pondok pesantren (sekaligus memiliki santri).
Sedangkan ahli bidang keilmuan yang lain,
misalnya: ahli bahasa, ahli sains, ahli teknik, ahli
ekonomi- yang nota bene juga merupakan
bidang ilmu yang dapat dijadikan sarana untuk
lebih memahami al-Qur’an dan hadits serta
mendekatkan diri kepada Allah ternyata tidak
pernah disebut sebagai ulama, melainkan sering
dinamakan dengan sebutan Guru/Dosen. Yang
lebih merepotkan, istilah “ulama” yang beredar
dalam masyarakat kita – seperti berbagai istilah
lain – mempunyai “kelamin ganda” dan berasal
tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa
Indonesia, ulama berarti “orang yang ahli dalam
hal atau dalam pengetahuan Islam agama
Islam” (lihat Kamus Besar bahasa Indonesia,
halaman 985).
Sedangkan di Arab sendiri, ulama (bentuk jamak
dari alim) hanya mempunyai arti “orang yang
berilmu”. Dalam hali ini, menurut Imam
Suprayogo (2006)-dalam bukunya-Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam- menegaskan
bahwasannya selama ini, pembidangan ilmu
agama Islam (seputar tauhid, fiqh, akhlaq,
tasawuf, bahasa arab, dan sejenisnya) telah
berhasil melahirkan berbagai sebutan ulama,
seperti ulama fiqh, ulama tafsir, ulama hadits,
ulama tasawuf, ulama akhlaq, dan lainnya.
Tetapi, tidak pernah dijumpai ulama yang
menyandang ilmu selain tersebut.
Misalnya ulama matematika, ulama teknik,
ulama ekonomi dan sebagainya. Mereka yang
ahli di bidang tersebut hanya cukup disebut
sebagai sarjana matematika, sarjana teknik,
sarjana ekonomi, dan seterusnya. Para ahli di
bidang ini dipandang tidak memiliki otoritas
dalam ilmu keislaman sekalipun mereka
beragama Islam dan juga mengembangkan ilmu
yang bersumber dari ajaran Islam. Selama ini,
definisi ulama yang dikonstruk masyarakat
adalah orang yang mengkaji fiqh, tasawuf,
akhlaq, tafsir, hadits, dan sebagainya. Berangkat
dari hal ini, menurut Suprayogo seharusnya
ulama tidak sebatas dilekatkan pada diri
seseorang yang memahami tentang fiqh, tauhid,
tasawuf, dan akhlaq saja melainkan orang yang
mengetahui dan memahami tentang segala hal
yang terkait dengan objek yang dikaji.
Jika demikian penggunaan arti ulama, maka
ulma bisa dilekatkan pada berbagai orang yang
mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk
misalnya kedokteran, ekonomi, sains, teknik, dan
bahkan juga seni dan budaya. Selanjutnya tidak
diperlukan lagi pembedaan istilah intelek dan
ulama, karena pada hakekatnya ulama yang
intelek dan intelek yang ulama tidak memilki
perbedaan. Penggunaan konstruk yang berbeda
terhadap fenomena yang sama tetapi berbeda
objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal.
Misalnya menggunakan istilah madrasah
yangberbeda dengan sekolah, guru dengan
ustadz, kitab dengan buku, asrama mahasiswa
dengan pondok pesantren, perpisahan dengan
akhirussanah, dan lain sebagainya. Di sini,
penggunaan konstruk yang bernuansa ke Arab-
araban dipandang sebagai bernuansa spiritual
transcendental yang dirasakan terdapat nuansa
agama Islam. Untuk memahami lebih dalam
bagaimana masyarakat membedakan antara
konstruk yang bernuansa agama dengan yang
bukan agama, dapat mengikuti pembedaan yang
sama antara guru dengan ustadz.
Disebut guru jika seseorang mengajar
matematika, biologi, teknik, ekonomi, bahasa
Inggris dan seterusnya. Lain halnya jika
seseorang mengajar ilmu fiqh, tafsir, tasawuf,
bahasa Arab dan lainnya maka akan disebut
dengan ustadz. Pembedaan seperti ini
menjadikan Islam terkesan eklusif (tertutup) dan
bukan inklusif (terbuka), seolah-olah Islam hadir
ke bumi ini hanya mengurus hal-hal yang
berkenaan dengan ke-akhirat-an saja. Padahal
kalau kita mau mencermati secara seksama
dalam al-Qurâan dan al-Hadits justru lebih
banyak berbicara tentang keselamatan hidup di
sini dan sekarang, karena memang yang di sini
dan sekarang akan berdampak pada kehidupan
di akhirat yang nanti dan di sana.




0 komentar:

Posting Komentar