Pengikut

Sabtu, 22 Februari 2014

Profile Singkat Syaikh Ali Saleh Muhammad Ali Jaber (Syekh Ali Jaber)

Profile Singkat Syekh Ali Jaber

Syaikh Ali Jaber, demikian sapaan akrab Syaikh Ali Saleh Muhammad Ali Jaber, lahir di kota Madinah Al-Munawarah pada tanggal 3 Shafar 1396 H, bertepatan dengan tanggal 3 Febuari 1976 M. Ia menjalani pendidikan, baik formal maupun informal, di Madinah.

Tahun 1410 H/1989 M, ia tamat ibtidaiyah, tahun 1413 H/1992 M tamat tsanawiyah, tahun 1416 H/1995 M tamat aliyah. Tahun 1417
H/1997 M hingga saat ini ia mulazamah (melazimi) pelajaran-pelajaran Al-Qur’an di Masjid Nabawi, Madinah.

Sedari kecil Ali Jaber telah menekuni membaca Al-Qur’an. Ayahandanyalah yang awalnya
memotivasi Ali Jaber untuk belajar Al-Qur’an, karena dalam Al-Qur’an terdapat semua ilmu.Allah SWT.

Dalam mendidik agama, khususnya
Al-Qur’an dan shalat, ayahnya sangat keras, bahkan tidak segan-segan memukul bila Ali Jaber kecil tidak menjalankan shalat. Ini implementasi dari hadis Nabi Muhammad SAW yang membolehkan memukul anak bila di usia tujuh tahun tidak melaksanakan shalat fardhu.

Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang religius.

Di Madinah ia memiliki masjid besar yang digunakan untuk syiar Islam. Sebagai anak pertama dari dua belas bersaudara, Ali Jaber dituntut untuk meneruskan perjuangan ayahnya dalam syiar Islam. Meski pada awalnya apa yang ia jalani adalah keinginan sang ayah, lama-
kelamaan ia menyadari itu sebagai kebutuhannya sendiri.
Tidak mengherankan, di usianya yang masih terbilang belia, sebelas
tahun, ia telah hafal 30 juz Al Qur’an.

Sejak itu pula Syaikh Ali memulai berdakwah mengajarkan ayat-ayat Allah SWT di masjid tersebut, kemudian belanjut ke masjid lainnya Selama di Madinah, ia juga aktif sebagai guru tahfizh Al-Qur’an di Masjid Nabawi dan menjadi imam shalat di salah satu masjid kota Madinah.

Tahun 2008, ia melebarkan sayap dakwahnya hingga ke Indonesia. Kebetulan ia menikahi seorang gadis shalihah asli Lombok, Indonesia, bernama Umi Nadia, yang lama tinggal di Madinah. Pada tahun yang sama, ia melaksana­
kan shalat Maghrib di masjid Sunda Kelapa Jakarta Pusat. Selepas shalat ada salah seorang pengurus masjid memintanya untuk menjadi
imam shalat Tarawih di masjid Sunda Kelapa, karena saat itu hampir mendekati bulan Ramadhan.

Sejak itulah ia terus mendapat kepercayaan masyarakat di sejumlah tempat di Indonesia.
Demi menunjang komunikasinya dalam berdakwah, ia pun mulai belajar bahasa Indonesia.

Beliau menjalani pendidikan seluruhnya di Madinah, 1410 H Tamat Ibtidaiyah, 1413 H Tamat Tsanawiyah, 1416 H Tamat Aliyah, dan 1417 H – Sekarang
Mulazamah dan Kursus Al-Quran di Masjid Nabawi – Madinah.
Menikah dengan wanita
Keturunan Indonesia bernama Umi Nadia, dan telah memiliki 1 anak bernama hasan, saat ini menetap di Pondok Bambu Jakarta Timur.

Guru-guru Syeh Ali Jaber yang pernah mengajar beliau adalah :

Syeikh Abdul Bari’as Subaity (Imam Masjid Nabawi, sebelumnya Imam Masjidil Haram), Syeikh Khalilul Rahman (Ulama Al Qur’an di
Madinah dan Ahli Qiraat),
Syeikh Prof. Dr. Abdul Azis Al Qari’ (Ketua Majelis Ulama Percetakan Al-Qur’an Madinah.dan Imam Masjid Quba), Syeikh Said Adam (Ketua Pengurus Makam Rasulullah SAW dan Pemegang Kunci makam
Rasulullah SAW), Syeikh Muhammad Ramadhan (Ketua Majelis.Tahfidzul Qur’an di Masjid Nabawi), Syeikh Muhammad Husein Al Qari’ (Ketua Ulama.Qira’at di Pakistan).

Selama di kota madinah beliau aktif sebagai Guru Tahfidz Qur’an di.Masjid Nabawi dan Imam Sholat di salah satu masjid kota Madinah.
Kegiatan selama di Indonesia antara lain adalah sebagai berikut :

Guru Tahfidz Al-Qur’an di Islamic Centre / Masjid Agung Al- Muttaqin Cakranegara Lombok NTB,
Imam Besar dan Khatib di Masjid Agung Al-Muttaqin Cakranegara Lombok NTB,
Imam Sholat Tarawih, Qiyamul Lail dan pembimbing Tadarus Al- Qur’an selama Ramadhan 1429 H serta Imam Sholat Idul Fitri 1429 H di Masjid Agung Sunda Kelapa Menteng Jakarta Pusat,
Pengajar di Pesantren Tahfidz Al- Qur’an Al-Asykar Puncak Jawa Barat,
Muballigh Majelis Taklim di Jakarta dan sekitarnya
(Nikmatnya sedekah TPI, Indonesia Menghafal TPI, dan mengajar di majelis taqlim di pancoran)

Akun Twitter dari Syeh Ali Jaber KLIK DISINI !

Disadur oleh admin dari
Majalah Al Kisah (Profile Syekh Ali Jaber)

Dan dari sumber lainnya

Selasa, 18 Februari 2014

Inilah Perbedaan Ahlussunnah (aswaja) dengan Syi'ah

~ Mulai banyak yang sering melancarkan tuduhan syi’ah di dunia online dan jejaring sosial secara membabi buta.

Mereka sendiri banyak tidak paham mengenai hakikat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni/
Aswaja) dan tidak paham mengenai syi’ah.

Misalnya, hanya karena berbeda pandangan politik, langsung di vonis syi’ah, dan banyak kasus lainnya. Hal semacam itu tidak lain karena
ketidak-tahuan mereka.

Berikut beberapa ikhtisar mengenai perbedaan antara ajaran Sunni (Ahlussunnah wal jama’ah /Aswaja) dan Syi’ah dalam bidang teologi (aqidah), hukum (fiqh), bidang politik dan lainnya.

Dalam Bidang Aqidah

1. Dalam bidang aqidah kita (aswaja) menyakini rukun Islam ada 5 (Syadatain, Shalat, Puasa, Zakat
dan Haji) dan rukun Iman ada 6 (Iman pada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari Kiamat dan Qadha’ dan qadar).

Adapun rukun Islam Syi’ah terdiri dari:
Shalat, Shaum (puasa), Zakat, Haji dan Wilayah.

Sedangkan syahadat mereka, tidak
hanya hanya Syahdatain (2 kalimat
syahadat) tetapi ditambah dengan
menyebut 12 imam (Tiga kalimat syahadat).

Sedangkan rukun Iman Syi’ah hanya ada 5, yaitu: Tauhid, Nubuwwah, Imamah, al-‘Adl dan Ma’ad.

2. Dalam bidang aqidah.

kita menyakini bahwa al-Qur’an tetap orisinil, surga diperuntukkan
bagi orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya , neraka diperuntukkan kepada orang yang
tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun Syi’ah, menyakini bahwa al-Qur’an tidak orisinil dan sudah di ubah oleh sahabat (dikurangi da ditambah), surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta pada Imam Ali dan neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali.

3. Rujukan hadits .

Rujukan hadits kita adalah Kutub al-Sittah(Shahih al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Turmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasa’i).

Adapun Syi’ah, memiliki rujukan hadits sendiri seperti Al Kutub al-Arba’ah yaitu Al Kafi, Al Ibtishar, Man La Yadhuruhu al Faqih, dan At-Tahdzib.

Dalam Bidang Fiqh (Hukum)
1. Mashadir al-tasyri’ (sumber hukum) kita adalah Al Qur’an, As-Sunnah (al-Hadits), serta Ijma dan Qiyas (analogi hukum) sebagai
tambahannya.

Adapun Syi’ah, mashadir al-tasyri -nya adalah (1) al-Qur’an daan As-Sunnah, (2) Sima (pendengaran) dari Rasulullah, (3) Kitab Ali, disebut Al Jami’ah , (4) al-Isy- raqat al-Ilahiyyah.

2. Kita berpandangan bahwa potensi ijtihad terbuka dalam ranah yang belum dijelaskan oleh nash al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun Syi’ah, potensi ijtihad juga terbuka namun dalam ranah selain imamah.

3. Rujukan fikih kita mengambil dari imam madzhab 4 yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Adapun Syi’ah, mengambil fiqih dari para imam Syi’ah.
Dalam Bidang Politik

1. Kita (Sunni) mengakui bahwa Khufaur Rasyidin yang sah adalah Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, Umar al-Faruk (Umar bin Khattab),Utsman bin Affah dan Ali bin Abi Thalib.

Adapun Syi’ah tidak mengakui Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman karena dianggap merampas kekhalifahan Sayyidina Ali.

Namun ada Syi’ah yang masih mengakui semuanya (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) yaitu Syi’ah Zaidiyah.

2. Kita (Sunni/aswaja) berpandangan bahwa pemimpin atau imam tidak terbatas pada 12 imam dan percaya pada imam-imam itu tidak termasuk rukun iman, kita juga berpendangan bahwa khalifah (imam) tidak ma’shum atau mereka bisa berbuat salah/dosa/lupa.

Adapun Syi’ah berpandangan bahwa
kepemimpinan hanya sebatas 12 imam dan termasuk rujukan imam mereka. Mereka juga menyakini kema’shuman 12 imam tersebut seperti para Nabi.

3. Kita (Sunni) berpandangan bahwa pemimpin (imam) diangkat melalui kesepatakan ahlul halli wal aqdi, atau orang yang mengangkat dirinya sendiri (dalam kondisi darurat), kemudian ia dibai’at oleh ahlul halli wal aqdi dan rakyat.

Adapun menurut Syi’ah, pemimpin sudah ditentukan oleh Allah (nas Ilahi) bukan pilihan rakyat.

4. Dalam hal hukum mengangkat imam. Kita/ Aswaja(Sunni) berpandangan bahwa kepemimpinan hukumnya wajib karena dalil-dalil syari’at.

Adapun Syi’ah, berpandangan bahwa hukumnya wajib berdasarkan nas Ilahiy.

5. Dalam hal syarat pemimpin.

Kita (Sunni) berpendangan bahwa pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu
(1) berasal dari suku Quraisy (pada tahap berikutnya terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini),
(2) Bai’at,
(3) Syura,
dan
(4) Adil

Adapun Syi’ah, pemimpin harus berasal dari Ahlul Bait.

Perbedaan Lainnya
1. Kita (Sunni) dilarang mencaci maki sahabat Rasulullah Saw. Kita juga sangat menghormati Sayyidah Aisyah istri Rasulullah Saw, serta menyatakan bahwa para istri Rasulullah Saw termasuk ahlul bait.
Adapun menurut Syi’ah, mencaci maki para sahabat tidak apa-apa bahkan mereka berkeyakinan, para sahabat menjadi murtad setelah Rasulullah Saw wafat dan hanya
tersisi beberapa sahabat saja.

Alasan murtadnya karena para sahabat membai’at Abu Bakar al-Shiddin sebagai khalifah.

Syi’ah juga mencaci maki Sayyidah Aisyah dan tidak menggolongkan istri Rasulullah Saw sebagai ahlul bait.

2. Tentang Raj’ah.

Kita/aswaja (Sunni) tidak menyakininya.

Adapun Syi’ah menyakini aqidah raj’ah.

Raj’ah adalah keyakinan bahwa kelak di akhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali, dimana pada saat itu ahlul
bait akan balas dendam kepada musuh- musuhnya.

3. Terkait Imam Mahdi. Menurut kita (Sunni), Imam Mahdi adalah sosok yang akan membawa keadilan dan kedamaian.
Adapun Syi’ah, mereka punya Imam Mahdi sendiri yang berlainan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Syi’ah, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya
kemudian pergi ke Madinah untuk
membangunkan Rasulullah Saw, Imam Ali, Fatimah dan ahlul bait lainnya. Selanjutnya, ia akan membangunkan Abu Bakar, Umar
dan Aisyah. Ketiga orang tersebut akan disiksa sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka pada ahlul bait.

4. Terkait nikah Mut’ah, Khamar dan Air.

Bagi kita aswaja (Sunni) mut’ah hukumnya haram, khamar hukumnya tidak suci (najis), dan air yang dipakai istinja’ (cebok) tidak suci.

Adapun bagi Syi’ah, mut’ah halal dan dianjurkan, khamar tidak najis, dan air yang telah dipakai istinja’ dianggap suci dan
mensucikan.

5. Dalam hal shalat.

Kita (Sunni) meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya
sunnah, mengucapkan amin juga sunnah, shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i.
Shalat dhuha disunnahkan.

Adapun bagi Syi’ah, meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat, mengucapkan amin di akhir sudah al Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/
batal shalatnya, dan shalat jama’
diperbolehkan tanpa alasan apapun.
Shalat dhuha tidak dibenarkan.

Ciri Khas Aqidah Sunni
Ahlussunnah wal Jama’ah / aswaja (Sunni) meyakini bahwa Allah itu Ada tanpa arah dan tanpa tempat. Inilah ciri khas Sunni sekaligus membedakan antara Ahlussunnah wal Jama’ah dengan aliran-aliran lainnya. Hal ini berdasarkan dalil al-Qur’an surah al-Syura ayat 11. (*)



Penulis : Ibnu Manshur/Arats
Sumber : Buku Risalah Ahlussunnah wal-Jama’ah –

Dari pembiasaan menuju
pemahaman dan pembelaan Akidah Amaliah NU. Ditulis oleh Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Tim penulis antara lain :
KH. Abdurrahman Navis, Lc., M.H.I., Muhammad Idrus Ramli, dan Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I. Penerbit “Khalista”

Surabaya, Cetakan 1 tahun 2012. Halaman 11-14, dan 46-48.