Pengikut

Rabu, 26 September 2012

Penyebab Munculnya Ekstremisme

Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr.
Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin
Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz
Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili
pada Pertemuan Nasional dan Dialog
Pemikiran Kedua dengan judul pertemuan,
‘Esktrem dan Moderat: Sisi Pandang
Sistematis dan Universal” di Makkah al
Mukarromah , pada tanggal 5 s/d 9
Dzulqo’dah 1424 H mengatakan bahwa
pembagian tauhid menjadi tiga adalah
penyebab munculnya ekstremisme atau
radikalisme berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor
dominan di antara faktor terpenting dan
dominan yang menjadi sebab munculnya
ekstremisme adalah apa yang kita saksikan
bersama pada metode pembelajaran tauhid
dalam kurikulum sekolah. Dalam materi
tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi
tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah
dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat,
Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan,
pembagian dengan format seperti ini tidak
terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah
Nabawiyyah.
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih
merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam
masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti
tongkat yang berfungsi membuat perpecahan
di antara umat Islam dengan konsekuensi
hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi
bahwa kebanyakan umat Islam (as-sawadul
a’zham) telah kafir, menyekutukan Allah, dan
lepas dari tali tauhid.
***** akhir kutipan *****
Apa yang menjadi landasan kurikulum sekolah
di wilayah kerajaan dinasti Saudi adalah
mengikuti pola pemahaman ulama Muhammad
bin Abdul Wahhab yang dapat diketahui dari
tulisan beliau, Qawaidul Arba’ yang
disyarahkan oleh ulama Sholih Fauzan Al-
Fauzan pada http://mutiarazuhud.fil
es.wordpress.com/2012/03/pemahaman-
tauhid-maw.pdf
Dalam tulisan tersebut terlihat jelas
dipengaruhi oleh pembagian tauhid menjadi
tiga bagian. Sehingga Ulama Muhammad bin
Abdul Wahhab berprasangka buruk bahwa
kaum muslim pada umumnya hanya bertauhid
Rububiyyah dan belum sepenuhnya bertauhid
Uluhiyyah.
Pada halaman 23 terjemahan Syarah Qawaidul
Arba’ tertulis, “Ketahuilah bahwa orang-orang
kafir yang diperangi oleh Rasulullah -
shallallahu‟alaihi wa sallam- –mereka itu
mengakui tauhid rububiyyah, sementara
pengakuan mereka terhadap tauhid rububiyyah
tidak dapat memasukkan mereka ke dalam
Islam, sehingga tidak haram harta-harta serta
darah mereka”
Pada orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah
dari Bani Tamim an Najdi yang
pemahamannya telah keluar (kharaja) dari
pemahaman mayoritas kaum muslim (as-
sawad al a’zham) atau yang disebut dengan
khawarij (khawarij adalah bentuk jamak
(plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya
yang keluar) mempergunakan ayat-ayat yang
diturunkan bagi orang-orang kafir lantas
mereka terapkan untuk menyerang kaum
muslim
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati
kelompok khawarij mengatakan: “Mereka
menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi
orang-orang kafir lantas mereka terapkan
untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat:
kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:197].
Begitupuula sebagai pembenaran
pemahamannya, ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab menerapkan ayat-ayat yang
diturunkan bagi orang-orang kafir digunakan
unutk menyerang kaum muslim seperti pada
halaman 36 s/d 38 terjemahan Syarah
Qawaidul Arba’ tertulis,

Oleh Zon Jonggol


Senin, 10 September 2012

PENGERTIAN TENTANG ULAMA

PENGERTIAN TENTANG ULAMA
***********************
Secara bahasa, ‘ulama’ berasal dari kata kerja
dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah
menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang
mengetahui – mufrad/singular) dan ‘ulama
(jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan
istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-
Quran dan hadis.
Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah :
‘innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al ulama’
artinya : sesungguhnya yang paling taqwa
kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama
(Fathir 28).
‘Al ulama-u waratsatu al anbiya’ artinya : ulama
adalah pewaris para nabi – hadits.
Secara hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk
kategorisasi, sebab yang mengetahui tingkat
ketaqwaan seseorang hanyalah Allah.
Penyebutan taqwa di sini hanya untuk memberi
batasan bahwa ulama haruslah beriman kepada
Allah dan secara dhahir menunjukkan tanda-
tanda ketaqwaan. Jadi Islamolog yang tidak
beriman kepada Allah tidak masuk dalam
kategori ulama.
Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka
yang mewarisi nabi. Al Maghfurllah Kiyai Ahmad
Siddiq, Situbondo, menyatakan bahwa yang
diwarisi ulama dari nabi adalah ilmu dan
amaliyahnya yang tertera dalam al-Quran dan
hadis.
Dengan batasan ini, ahli-ahli ilmu lain yang tidak
berhubungan dengan al-Quran dan hadis tidak
masuk dalam kategori ulama. Kyai Ahmad
mengistilahkan kelompok ahli itu sebagai
zuama.
Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal
dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki
perbedaan makna yang sangat signifikan.
Perbedaan makna ini dapat ditengarai dalam Al-
Qur’an ketika kata al-’ulama’ disebutkan hanya 2
(dua) kali dan kata al-’alimun sebanyak 5 (lima)
kali, dan kata al-’alim sebanyak 13 (tiga belas)
kali. (lihat al-Baqi, al-Mu’jam, hlm. 603-604).
Penggunaan kata al-’ulama’ dalam Al-Qur’an
selalu saja diawali dengan ajakan untuk
merenung secara mendalam akan esensi dan
eksistensi Tuhan serta ayat-ayat-Nya baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan
perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini adalah
untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal
yang akan terjadi sehingga dapat melahirkan
teori-teori baru. Kata al-’alimun diiringi dengan
usainya suatu peristiwa dan Al-Qur’an menyuruh
mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai
bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak
terulang lagi.
Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur’an
mengajak al-’alimun untuk memikirkan
peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat
terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan
(lihat Q.S. Al-’Ankabut ayat 40-43). Penyebutan
kata al-’alim dalam bentuk tunggal semuanya
mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada
selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi dengan
penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang
ghaib dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan
bahwa munculnya pengetahuan manusia
berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan
Tuhan.
Kyai Muchith Muzadi,- salah seorang ulama dari
NU- membuat kategorisasi ulama atas dasar
ilmu, secara garis besar sebagai berikut:
1. Ulama Ahli Quran ialah ulama yang
menguasai ilmu qiraat, asbabunnuzul, nasih
mansuh dsb. Ulama tafsir adalah bagian dari ini
yang memiliki kemampuan menjelaskan
‘maksud’ Qur’an.
2. Ulama Ahli Hadits yaitu ulama yang
menguasai ilmu hadits, mengenal dan hafal
banyak hadist, mengetahui bobot kesahihannya,
asbabul wurudnya (situasi datangnya hadits)
dsb.
3. Ulama Ahli Ushuluddin ialah ulama yang ahli
dalam aqidah Islam secara luas dan mendalam,
baik dari segi filsafat, logika, dalil aqli dan dalil
naqlinya.
4. Ulama Ahli Tasawuf adalah ulama yang
menguasai pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan akhlaq karimah, lahir dan bathin
serta metodologi pencapaiannya.
5. Ulama Ahli Fiqh adalah ulama yang
memahami hukum Islam, menguasai dalil-2nya,
metodologi penyimpulannya dari Qur’an dan
hadis, serta mengerti pendapat-2 para ahli
lainnya.
6. Ahli-ahli yang lain, i.e., ahli pada berbagai
bidang yang diperlukan sebagai sarana
pembantu untuk dapat memahami Qur’an dan
hadits, seperti ahli bahasa, ahli mantik, ahli
sejarah, dsb. Merujuk pada arti ulama-baik
secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi
ulama menurut Kyai Muchit Muzadi, ternyata
selama ini yang dipahami masyarakat telah
mengalami ‘kecelakaan pemahaman’.
Menurut kebanyakan orang, yang dimaksudkan
sebagai ulama hanyalah orang-orang yang
mumpuni di bidang agama-dalam hal ini meliputi
tafsir, tasawuf, aqidah, muamalah, dan
sejenisnya bahkan ada yang menambahkan
ulama dalaha orang ahli agama yang memilki
pondok pesantren (sekaligus memiliki santri).
Sedangkan ahli bidang keilmuan yang lain,
misalnya: ahli bahasa, ahli sains, ahli teknik, ahli
ekonomi- yang nota bene juga merupakan
bidang ilmu yang dapat dijadikan sarana untuk
lebih memahami al-Qur’an dan hadits serta
mendekatkan diri kepada Allah ternyata tidak
pernah disebut sebagai ulama, melainkan sering
dinamakan dengan sebutan Guru/Dosen. Yang
lebih merepotkan, istilah “ulama” yang beredar
dalam masyarakat kita – seperti berbagai istilah
lain – mempunyai “kelamin ganda” dan berasal
tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa
Indonesia, ulama berarti “orang yang ahli dalam
hal atau dalam pengetahuan Islam agama
Islam” (lihat Kamus Besar bahasa Indonesia,
halaman 985).
Sedangkan di Arab sendiri, ulama (bentuk jamak
dari alim) hanya mempunyai arti “orang yang
berilmu”. Dalam hali ini, menurut Imam
Suprayogo (2006)-dalam bukunya-Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam- menegaskan
bahwasannya selama ini, pembidangan ilmu
agama Islam (seputar tauhid, fiqh, akhlaq,
tasawuf, bahasa arab, dan sejenisnya) telah
berhasil melahirkan berbagai sebutan ulama,
seperti ulama fiqh, ulama tafsir, ulama hadits,
ulama tasawuf, ulama akhlaq, dan lainnya.
Tetapi, tidak pernah dijumpai ulama yang
menyandang ilmu selain tersebut.
Misalnya ulama matematika, ulama teknik,
ulama ekonomi dan sebagainya. Mereka yang
ahli di bidang tersebut hanya cukup disebut
sebagai sarjana matematika, sarjana teknik,
sarjana ekonomi, dan seterusnya. Para ahli di
bidang ini dipandang tidak memiliki otoritas
dalam ilmu keislaman sekalipun mereka
beragama Islam dan juga mengembangkan ilmu
yang bersumber dari ajaran Islam. Selama ini,
definisi ulama yang dikonstruk masyarakat
adalah orang yang mengkaji fiqh, tasawuf,
akhlaq, tafsir, hadits, dan sebagainya. Berangkat
dari hal ini, menurut Suprayogo seharusnya
ulama tidak sebatas dilekatkan pada diri
seseorang yang memahami tentang fiqh, tauhid,
tasawuf, dan akhlaq saja melainkan orang yang
mengetahui dan memahami tentang segala hal
yang terkait dengan objek yang dikaji.
Jika demikian penggunaan arti ulama, maka
ulma bisa dilekatkan pada berbagai orang yang
mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk
misalnya kedokteran, ekonomi, sains, teknik, dan
bahkan juga seni dan budaya. Selanjutnya tidak
diperlukan lagi pembedaan istilah intelek dan
ulama, karena pada hakekatnya ulama yang
intelek dan intelek yang ulama tidak memilki
perbedaan. Penggunaan konstruk yang berbeda
terhadap fenomena yang sama tetapi berbeda
objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal.
Misalnya menggunakan istilah madrasah
yangberbeda dengan sekolah, guru dengan
ustadz, kitab dengan buku, asrama mahasiswa
dengan pondok pesantren, perpisahan dengan
akhirussanah, dan lain sebagainya. Di sini,
penggunaan konstruk yang bernuansa ke Arab-
araban dipandang sebagai bernuansa spiritual
transcendental yang dirasakan terdapat nuansa
agama Islam. Untuk memahami lebih dalam
bagaimana masyarakat membedakan antara
konstruk yang bernuansa agama dengan yang
bukan agama, dapat mengikuti pembedaan yang
sama antara guru dengan ustadz.
Disebut guru jika seseorang mengajar
matematika, biologi, teknik, ekonomi, bahasa
Inggris dan seterusnya. Lain halnya jika
seseorang mengajar ilmu fiqh, tafsir, tasawuf,
bahasa Arab dan lainnya maka akan disebut
dengan ustadz. Pembedaan seperti ini
menjadikan Islam terkesan eklusif (tertutup) dan
bukan inklusif (terbuka), seolah-olah Islam hadir
ke bumi ini hanya mengurus hal-hal yang
berkenaan dengan ke-akhirat-an saja. Padahal
kalau kita mau mencermati secara seksama
dalam al-Qurâan dan al-Hadits justru lebih
banyak berbicara tentang keselamatan hidup di
sini dan sekarang, karena memang yang di sini
dan sekarang akan berdampak pada kehidupan
di akhirat yang nanti dan di sana.




Sabtu, 01 September 2012

Jenis - Jenis Perbuatan Manusia


Firman Allah ta’ala yang artinya
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian
menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Sebagai hamba Allah maka seluruh sikap dan
perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada
Allah Azza wa Jalla.
Perbuatan manusia ada dua jenis yakni
1. Perbuatan yang tekait dengan dosa untuk
menghindari neraka dengan berbagai tingkatan.
2. Perbuatan yang terkait dengan ridho Allah
ta'ala untuk meraih cintaNya sehingga masuk
surga dengan berbagai tingkatan.
Perbuatan yang terkait dosa ada dua jenis yakni
1. Jika ditinggalkan berdosa yakni perkara
kewajiban
2. Jika dilanggar / dikerjakan berdosa yakni apa
yang telah diharamkanNya dan apa yang telah
dilarangNya.
Perbuatan yang terkait dosa disebut juga
perbuatan yang telah diwajibkanNya yakni wajib
dijalankan (perkara kewajiban) dan wajib dijauhi
(perkara larangan dan perkara yang
diharamkanNya).
Muslim yang menjalankan perbuatan yang telah
diwajibkanNya disebut dengan orang beriman
atau mukmin / mukminin
Perbuatan yang terkait dengan ridho Allah ta'ala
ada dua jenis yakni
1. Apa yang telah disyariatkanNya atau apa yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
2. Di luar dari apa yang telah disyariatkanNya
atau di luar dari apa yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selama
tidak melanggar satupun laranganNya atau
selama tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan
As Sunnah
Perbuatan yang terkait dengan ridho Allah
disebut juga dengan amal kebaikan.
Muslim yang telah menjalankan perbuatan yang
telah diwajibkanNya dan menjalakan amal
kebaikan disebut dengan muslim yang sholeh
(sholihin) atau muslim yang ihsan (muhsin/
muhsinin)
Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda
“Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku
wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus
menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan
amal kebaikan maka Aku mencintai dia . (HR
Bukhari 6021)
Dari Jabir ra berkata: Aku mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak
seorang pun dari kalian yang dimasukkan surga
oleh amalnya dan tidak juga diselamatkan dari
neraka karenanya, tidak juga aku kecuali karena
rahmat dari Allah.” (HR Muslim 5042)
Janji Allah ta’ala bagi mereka yang beriman
(mukmin) dan mengerjakan amal sholeh (amal
kebaikan), masuk surga tanpa hisab
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang
saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang
ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan
masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya
tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal
saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124 ).
Oleh karenanya ada sebuah kisah seorang wanita
pelacur (tidak menjalankan apa yang
diwajibkanNya yakni wajib dijauhi , larangan
berzina) namun dia masuk surga setelah
melakukan sebuah amal kebaikan memberi
minum seekor anjing setelah dia bertaubat
Telah bercerita kepada kami Al Hasan bin ash-
Shobbah telah bercerita kepada kami Ishaq Al
Azraq telah bercerita kepada kami 'Auf dari Al
Hasan dan Ibnu Sirin dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: Ada seorang wanita
pezina yang diampuni dosanya disebabkan
(memberi minum seekor anjing). Ketika dia
berjalan ada seekor anjing dekat sebuah sumur
yang sedang menjulurkan lidahnya dalam
kondisi hampir mati kehausan. Wanita itu segera
melepas sepatunya lalu diikatnya dengan
kerudungnya kemudian dia mengambil air dari
sumur itu. Karena perbuatannya itulah maka dia
diampuni dosanya (HR Bukhari 3074)
Sebaliknya seorang wanita masuk neraka karena
tidak menjalankan apa yang diwajibkanNya yakni
wajib dijauhi yakni tidak memberikan hewan
peliharaannya makanan
Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata,
telah menceritakan kepadaku Malik dari Nafi' dari
'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Ada seorang wanita disiksa disebabkan
mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan
lalu wanita itupun masuk neraka. Nafi' berkata;
Beliau berkata: Sungguh Allah Maha Mengetahui
bahwa kamu tidak memberinya makan dan
minum ketika engkau mengurungnya dan tidak
membiarkannya berkeliaran sehingga dia dapat
memakan serangga tanah (HR Bukhari 2192)

Oleh : Zon Jonggol